pesawat kertas

Lama juga tak datang, toh ternyata semua masih sama. Pun kalau ada yang tidak, itu adalah diriku yang bertumbuh,dan akhirnya melahirkan kesan kamar yang dulu luas ini jadi terasa mengecil.. Lembut terasa dari sini, dengan cahaya secukupnya, angin secukupnya, debur ombak secukupnya, langit biru secukupnya, dan keheningan secukupnya... kamar kecil ini begitu menenangkan,dan begitu mampu membimbingku kembali ke masa lalu.

* * *

Masih kuingat suaranya. Caranya mengambil perhatian kami. Kelembutan yang terpancar di sela-sela jemari yang sedang sibuk itu. sibuk melipat kertas. Melipatkan aku kertas. Mengajariku melipat kertas.
Sejak kemarin ia membawakan permainan baru ini kepada kami. Awalnya ia memperlihatkan kertas warna-warni segiempat kepada kami.
”Anak – anak, ini namanya kertas origami” Katanya waktu itu
Kami hanya ber-ooh saja. Mana kami tau apa origami itu. Mana kami mengerti untuk apa origami itu. Tapi dia tetap melanjutkan pekerjaannya, seperti biasa.
Dibagikannya kepada kami kertas origami, satu kertas untuk satu anak. Dan kami boleh memilih warna sesuai kesukaan kami, wah, dia memang baik hati.
Belum lagi lima menit, ada saja ulah yang kami buat. Ada yang kertas origaminya robek, ada yang basah –kena air liur-, ada yang tiba-tiba hilang –disembunyikan atau dimakan? Entahlah-, bahkan ada yang rebutan kertas origami (sungguh tak masuk akal, padahal kan kami sudah punya masing-masing?).
Dan dengan sabar dia melerai kami. Mengalihkan perhatian kami dengan melipat kertas itu hingga berbentuk sesuatu. Dan kami pun terpana, kertas itu kini menghipnotis kami. Bentuknya sangat indah, mengagumkan, nyata, dan kelak kami dapat membuatnya untuk diri kami sendiri. Sungguh menakjubkan, kertas itu berbentuk pesawat terbang.
Di hari kedua dengan kertas origami, kami masih belajar membuat pesawat terbang. Ternyata tidak semudah yang dilihat. Melipat kertasnya tidak boleh terlalu kuat, tapi juga tidak boleh terlalu lemah. Harus simetris. Biar hasilnya bagus. Ada beberapa dari kami yang berhasil. Kami menerbangkan pesawat kertas itu di dalam kelas, jadilah ruangan ini seperti miniatur angkasa dengan pesawat warna-warni berseliweran. Ada yang bertabrakan, ada yang menukik, ada yang mengenai kepala kami, ada yang nyangkut di atas lemari. Wah, sungguh menyenangkan.
Namun aku tak segembira itu. Karena aku tak mampu membuat pesawat yang baik. Sulit sekali rasanya. Bagaimana sih caranya, sampai ujungnya itu bisa lancip? Trus sayapnya itu sama besarnya? Ahh pusing..
Tapi dia menyadari kegundahanku. Lalu dihampirinya diriku
“kenapa Ali?”
“Ga bisa nih, Bu. Susah..” saat mengucapkan kata terakhir, rasanya airmata ini sudah di pelupuk mata. Aku benar-benar merasa jadi pecundang. Masa membuat pesawat kertas saja tidak bisa? Haaaah. Aku jadi semakin ingin menangis.
”Ga apa-apa, sini kita belajar. Ali lihat ibu dulu ya..” suaranya lembut seperti beludu. Aku semakin ingin menangis.
”Ali mau warna apa?”
Aku diam. Memandangi kertas-kertas itu ragu
”Yang mana? Merah? Atau biru?”
”Merah aja...”
Lalu jemari itu mulai melipat kertas. Sama seperti kemarin, tapi bedanya sekarang dia melakukannya di sampingku. Dekat denganku. Dia melakukan semuanya sambil memberi instruksi. Bibirnya komat kamit menjelaskan, selaras dengan gerakan jemarinya. Sekarang semuanya jadi lebih jelas. Aku terpana memperhatikan kepiawaiannya. Tak berapa lama, pesawat itu pun jadi. Gagah. Pertama karena warnanya merah, kedua karena lipatannya rapi. Jadi pesawat itu gagah sekali di mataku. Aku berbinar menatap matanya, ia tersenyum padaku
”Ini buat Ali, latihan di rumah ya”, diserahkannya bungkusan kertas origami itu. Masih banyak isinya. Aku berterima kasih lalu berlari keluar pagar sekolah, melambaikan tangan padanya, dan terus berlari menghampiri mobil penjemput yang akan mengantarku pulang ke rumah.

* * *

Duduk di atas ranjang mungil ini..

* * *

Rumah ini sepi, sejak lama memang sudah sepi. Ibu kerja, ayah apalagi. Jadi kalau sudah pulang sekolah aku lebih senang di kamar. Untungnya rumah ini ada di atas dataran tinggi. Dan dari jendela kamarku ini siapapun bisa melihat laut. Anginnya kencaang sekali. Aku senang berada di kamarku ini.
Tiba-tiba aku teringat oleh-oleh darinya siang tadi. Kurogoh isi tas sekolahku, kuambil satu kertas origami. Mulai kupejamkan mata, mencoba mengingat-ingat lagi setiap langkah melipat kertas origami, dan ketika angin laut menerpa wajahku dari arah jendela, akupun membuka mata. Mulai melipat dengan yakin.
Kertasnya dilipat dua, trus yang sisi kiri ini dilipat lagi harus lurus dengan bekas lipatan yang awal, trus.. ahh, salah-salah!
Kuambil kertas origami kedua, kucoba lagi dari awal. Lho-lho, kok malah jadi miring gini? Duuuhh
Kuambil kertas origami ketiga, kucoba lagi. Lagi dan lagi. Sampai-sampai aku tidak sadar kalau kertas-kertas itu keluar dari tempatnya. Angin laut berhembus kencang, menerbangkan kertas-kertas origamiku, membuat kamar ini warna warni
Akhirnya, setelah belasan kertas terlipat sia-sia dan puluhan lainnya terbang entah kemana, aku bisa membuat pesawat kertas! Ahahaaha.. senang rasanya...
Besok akan kuberikan pesawat ini kepadanya!

* * *
Ada energi yang besar dari bawah ranjang. Sebuah kotak sepatu usang..

* * *

Esoknya aku datang ke sekolah dengan memegangi pesawat kertas perdanaku. Bangga rasanya. Tapi... kenapa hari ini dia tidak datang? Kenapa guru ini yang mengajar? Kemana dia?
Pertanyaan yang hanya kusimpan dalam hati itu dijawab dengan sendirinya oleh ibu guru baru itu.
”Nama Ibu, Ibu Dian. Ibu di sini menggantikan Ibu guru Hani. Karena Ibu guru Hani sedang sakit”
Sakit apa? Pertanyaan yang hanya bekelebat di hatiku itu diajukan oleh teman yang lain.
”Ibu Hani butuh istirahat”
Akupun menjalani hari dengan malas-malasan. Sirna sudah rencanaku untuk menghadiahkan pesawat perdana ini padanya. Apa dia tau kalau hari ini aku akan memberinya pesawat ini? Apa dia tidak suka pada pesawatku? Aku tau pesawat ini tidak sebagus buatannya, tapi kenapa dia tidak mau masuk sekolah untuk menerima pesawatku ini? Ahh, kupikir dia sayang padaku. Ternyata... tidak juga.
Sesampainya di rumah kusimpan pesawat kertas itu dan kertas-kertas origami lainnya di bekas kotak sepatu, lalu kusimpan di bawah tempat tidur. Kubuka jendela kamarku lebar-lebar,memandangi laut. Huff..sepi rasanya. Di sekitar sini aku tak punya teman bermain. Maka dari itu aku senang sekali sekolah. Tapi hari ini dia tidak datang. Jadi masuk sekolahpun rasanya juga tidak seperti biasa.

* * *
Angin laut masih berhembus secukupnya, menerbangkan memori-memori di dalamnya sementara kotak itu terbuka

* * *

”Anak-anak, hari ini kita menjenguk Bu Hani, ya..”
Guru itu mengabarkan pada kami kalau dia rindu pada kami. Kami semua senang akan menjenguk dia, tapi aku tidak membawa pesawat kertasku hari ini. Mungkin pesawat kertas itu sendiri sudah rusak, sudah 3 hari kusimpan di bawah tempat tidur.
Kami beramai-ramai pergi ke rumah sakit naik bus sekolah. Tapi entah karena apa, kami hanya boleh masuk ke kamar Bu Hani bertiga atau berempat saja. Sementara ada yang giliran masuk kamar Bu Hani, yang lain menunggu di dalam bus di parkiran rumah sakit. Dan aku di dalam kelompok yang mendapat giliran terakhir.
Setelah lama menunggu akhirnya tiba juga giliran kelompokku. Kami memasuki bangunan berlorong putih itu. Aku tidak terlalu suka meski di sana dingin dan bersih. Pikiranku mulai melayang, bertanya-tanya aku dalam hati, apakah Bu Hani lebih senang di sini –di tempat macam ini- daripada di sekolah untuk mengajari kami? Tiba-tiba perutku mual, takut bahwa pertanyaanku itu adalah sesuatu yang benar adanya.



* * *

Angin laut masih terasa menyenangkan, seperti biasa. Aku tau aku tidak akan membuang kotak sepatu ini karena inilah cikal bakal jalan hidupku kini. Sungguh masih jelas rasanya dan masih kuingat suaranya.
Caranya...
Mengajari melipat kertas...
Dan memori masih mengalir, begitu rinci dan cepat berputar begitu saja di kepalaku. Hingga tibalah memori yang paling penting itu. Bagian terpenting dari semua ini.

* * *

Sejak kunjungan kami waktu itu aku rajin pergi menjenguknya. Setiap pulang sekolah, pak sopir akan setia menunggu dan memberi batas waktu sampai jam tiga. Karena sesudah itu aku harus pulang dan mandi.
Hari kedua aku datang dengan membawa pesawat kertas perdanaku. Ragu-ragu kutunjukkan kepadanya, takut responnya tidak sesuai harapan. Namun ternyata dia menyambutku begitu hangat, dia memuji pesawat kertasku, Senang rasanya mendapati warna merah di pipinya, karena itu memberikan kesan hidup pada wajahnya. Tidak seperti pada saat hari pertama aku datang menjenguknya. Wajah itu berwarna putih.. atau layu.. atau entah apalah namanya. Yang jelas aku tidak begitu menyukainya. Hari itu aku sibuk mendongenginya tentang perjuanganku hingga mampu membuat pesawat kertas itu. Pertemuan kututup dengan janji akan membawakan koleksi pesawat kertasku yang lain.
Hari ketiga aku datang dengan kotak sepatuku. Begitu duduk di sampingnya, kotak itu langsung kubuka dan kutumpahkan semua isinya di atas pangkuannya. Dia tertawa gembira dan mengucapkan terima kasih padaku karena telah membuat harinya berwarna. Aku memang sengaja melipat semua kertas berwarna yang ada hingga menjadi pesawat kertas. Semalam suntuk aku melakukannya. Dan senyuman itu membayar semua jerih payahku. Meski akhirnya aku dimarahi suster karena mengganggu istirahatnya plus mengotori kamar pasien dengan pesawat-pesawat kertas yang sudah terbang kemana-mana, aku tidak merasa bersalah.
Hari keempat aku datang dengan kertas origami pesanannya. Dengan kertas origami yang dibelikan pak sopir itu dia mengajariku melipat kertas menjadi bentuk lain. Ada kapal-kapalan, katak, burung, topi, dompet, dan masih banyak lagi.
Hari kelima aku datang hanya sebentar, karena disuruh pulang oleh suster. Katanya, dia butuh istirahat.
Hari keenama sama seperti hari kelima.
Hari ketujuh aku mulai resah, terutama ketika tiba-tiba Bu Dian pergi ketika mengajari kami mewarnai. Lalu setelah itu kembali dengan air mata yang ditahan. Beberapa temanku mulai menangis karena melihat wajahnya yang sangat sedih. Hatiku gelisah, tiba-tiba saja perutku mual.
Siang hari di hari ketujuh, Bu Dian mengatakan pada kami bahwa Bu Hani berhenti mengajar dari taman kanak-kanak ini karena dia harus pindah ke tempat yang jauh dan tidak akan kembali. Bu Dian memimpin kami untuk mendoakan dia semoga perjalannya lancar sampai tujuan. Pulang sekolah kuputuskan ke rumah sakit lagi, dan suster di sana memberikan penjelasan yang kurang lebih sama dengan Bu Dian. Intinya: dia pergi jauh. Aku masih tidak mengerti, memangnya dia pergi ke mana? Aku memaksakan diri masuk ke kamar inapnya dan aku tidak menemukan dirinya. Tiba-tiba air mataku menetes, semakin lama semakin deras. Aku merasa dia benar-benar memang sudah pergi jauh. Aku meronta-ronta meneriakkan namanya. Kemanakah dia? Mengapa tidak bilang-bilang dulu padaku? Bukankah beberapa hari terakhir ini kita berteman sangat dekat?

* * *
Lagi – lagi airmata,hanya disaksikan angin,

* * *
Malamnya aku jatuh sakit. Esoknya aku tidak dapat masuk sekolah. Kurasakan seluruh tubuhku lemas, dan dadaku nyeri. Aku merasa ditinggalkan. Dan aku yakin dia tidak akan kembali seperti yang dikatakan orang-orang meski aku sendiri tidak tahu kemana dia pergi. Siangnya Bu Dian datang menjenguk. Aku sendiri masih terbaring lemah di atas ranjang, hanya ditemani angin. Ayah tetap bekerja meski memang Ibu ambil cuti sehari. Tapi barusan akhirnya Ibu pergi juga karena ada keperluan mendadak dan melihat kondisi tubuhku sudah mulai membaik –apanya...-.
Bu Dian duduk di tepi ranjang, mengelus rambutku yang lepek dengan lembut.
”Ali kenapa?”
Aku memejamkan mata. Namun aku tau aku tidaklah kuat, maka bulir-bulir bening itu menyesak keluar meski mata ini terpaksa dipejam.
”Sudah, sudah, tidak usah ditahan. Sini, ibu peluk..”
Maka akupun memeluk pinggang Bu Dian, menangis terisak masih dalam keadaan berbaring.
”Bbb Bu Hann Ni ggga bb balik lla gi ya, Bu?”
Bu Dian hanya diam saja
”Bbbu Hann ni ppin dah kk ke mann nna ssih, Bbu?”
Tubuhnya semakin membungkuk, merangkul tubuh kecilku, mengusap-ngusap punggungku. Menabahkanku.
Dengan sabar ditungguinya aku menangis hingga tenang. Lalu ketika diperhatikannya aku mulai tidak menangis lagi, ia mengeluarkan selembar kertas yang dilipat rapi.
”Ibu bacakan ya..”
Lalu mulailah ia membaca isi kertas itu.

* * *
Angin masih berhembus, mulai kuseka airmata ini

* * *

Assalamualaikum, Muhammad Abu Ali..
Terima kasih ya, anak ibu yang pandai. Karena sudah menemani ibu di rumah sakit. Terima kasih sudah membuatkan ibu pesawat-pesawat kertas yang banyak dan warna-warni. Ibu senang sekali karena pesawat-pesawat kertas buatan Ali sangat bagus. Ibu berpesan supaya Ali tetap belajar ya, Nak. Belajar apapun sampai Ali besar. Jangan lupa doakan kedua orang tua Ali. Dan jadilah orang yang sukses saat besar nanti. Mungkin saja sekarang Ali bisa membuat pesawat dari kertas, tapi nanti Ali bisa buat pesawat sungguhan dan mengendarainya. Hebat bukan?
Ali yang baik hati, ibu juga minta maaf karena tidak sempat pamit secara langsung. Ibu harus pergi ke tempat yang tinggi. Nanti juga Ali akan tau Ibu pergi ke mana. Siapa tau, kalau Ali bisa menerbangkan pesawat, Ali bisa mampir ke tempat ibu?
Ya itu saja pesan dari ibu. Jadilah anak yang baik, semoga Ali bersedia mendoakan ibu,
Wassalamualaikum
Salam sayang,
Ibu Hani
1sept1991, Balikpapan

* * *

Dilipatnya kertas yang sudah berusia delapanbelas tahun itu bersama pesawat-pesawat kertas yang lain. Disekanya sisa-sisa air mata yang masih ada seiring ditutupnya kotak sepatu usang. Tiba-tiba ponsel bergetar lirih,
”Ya Halo?”
”Halo, Pak Ali, saya cuma mengingatkan lima jam lagi kita terbang. Sebagai pilot sepertinya Bapak harus ada di lapangan dua tiga jam lagi”
”Ya, ya, saya kembali ke bandara sebentar lagi. Saya hendak ziarah ke makam kerabat saya dulu”
“Apa ada yang meninggal Pak? Saya turut berduka cita”
”Ah, bukan. Sudah lama. Guru TK saya. Saya kan dulu kecil di sini. Ini saja saya sedang di rumah orang tua“
”Oh begitu.. Ya, saya juga titip doa untuk beliau Pak. Kira-kira itu saja, terima kasih. Selamat siang, Pak Ali”
”Siang”

Tut tut tut...

Komentar

Postingan Populer