terlalu lama

Petang. Langit mulai merah.
Di tepi teluk Balikpapan.
Menyusuri lebih jauh ke
dalam.
Di atas dataran yang lebih tinggi.
Meski bola api di atas sana masih tetap menghangatkan.
Meski langit masih seperti biasa, sibuk berdiskusi dengan bias-bias senja. Seolah saling bertanya, hari ini mau melukis jagat dengan warna apa?
Meski burung-burung gereja masih berkawan, terbang menyilang, mengepakkan sayap bersama-sama. Seperti menggambar formasi abstrak di udara.
Tapi rasanya tidak seperti biasa. Seperti ada sesuatu yang memikul hati. Membuat perasaan perempuan ini resah. Memorinya perlahan menggeliat gelisah. Hingga akhirnya diputuskan jua olehnya untuk melangkahkan kedua kaki rapuh itu. Menjadi semakin dekat pada apa yang dicarinya. Menjadi semakin dekat pada apa yang dirindukannya selama ini. Hingga pada batas di mana perempuan ini tak dapat lebih dekat lagi selain jarak ia dan yang dicintainya terbaring saat ini. Diangkatnya wajah lelah itu, menengadah ke langit biru yang mulai merah. Ada sketsa cahaya yang terbentuk di sana. Pertemuan jingga mentari dengan biru muda.. atau biru muda.. (ah, matanya terlalu tua untuk memastikan warna apa itu), melahirkan warna baru yang saling bergelut di atas sana. Berpilin mencari posisi ternyaman dan memancarkan kehangatan yang begitu meneduhkan.
Namun tak jauh dari situ, tepat tegak lurus sebagai zenith kerudung hitam yang dipakai perempuan ini, tampak segumpal awan jenuh yang sendiri. Melayang mengikuti rotasi bumi dengan setia, namun sepi dalam keramaian sore yang cerah. Tampak begitu kontras terutama dari mata perempuan ini. Gumpalan air langit itu dipandanginya dengan seksama. Sepertinya perempuan ini mengenali awan itu. Perempuan ini merasa bahwa ia pernah melihat gumpalan yang sama, bahkan sebenarnya merasakannya. Karena yang ia bayangkan sebagai cermin gumpalan awan itu adalah dirinya sendiri. Hatinya sendiri.

­__ __

Aku merindukanmu. Entah mengapa. Sampai sebegini jauh, tiba-tiba saja perasaan yang diam ini menjelma seperti anak kecil saja, merasuk dalam mimpi-mimpi sebelumnya yang selalu menghantui, menelusup ke relung hati, lalu merengek manja dan menangis membasahi cermin tujuh rupa di sudut jiwa. Rasaku kali ini sungguh gelisah, tak bisa kuatur lagi seperti biasa. Bahkan sebenarnya bukan aku yang menginginkan untuk datang ke sini sendirian – karena sebenarnya aku tak terlalu suka tempat ini, selalu saja membuatku menangis – , tapi hatiku lah yang menjadikanku ada di sini. Sekarang.
Dan memandangmu dalam keadaan yang seperti ini mebuat hatiku jadi semakin sedih. Di dunia yang sebegini ramai, mengapa aku masih merasa sepi? Meski telah kupanjatkan doa untukmu, meski telah kukuras semua air mata –agar kering saja selamanya – di sepertiga malamku, meski telah kurayu batin dan raga ini untuk bertawakkal menghadapi semua ini. Namun nyata-nyatanya itu semua memang tak pernah cukup menetralkan gelisahku. Lalu aku harus bagaimana, kasih? Agar rasa ini ikhlas mengalir di jalan yang syar’i. agar jiwa ini lapang tanpa beban rindu yang berlebihan.
Perlahan memori menyambut sepiku. Di sudut bumi ini, bersama jiwa mayamu yang teduh, kukenang lagi semua sejarah masa lalu. Pertemuan konyol itu. Ingatkah kau? Segala kelucuan yang kau lakukan sekedar untuk menemuiku. Padahal kau begitu takut melakukan itu, aku tau. Namun mengapa masih saja kau lakukan semua? Kenekatan bodoh yang kau niatkan bulat-bulat di hatimu untuk menjatuhkan cinta ini. Padahal sudah jelas aku tak menyukai orang sepertimu.
Namun ketulusanmu untuk mengimamiku sehidup sematimu waktu itu... Hanyalah kau satu yang akhirnya berani begitu.
Ah, seluruh sekat berdebu ini terbuka lagi. Dan memori berkarat yang abadi inipun berputar lagi, sangat jelas di depan mataku yang telah lelah terjaga. Padahal sudah sangat lama. Sudah sangat usang dan terkadang aku malu mengingatnya lagi, bahkan meski hanya di dalam hati kecilku sendiri. Masih pantaskah aku? Ah, bodohnya, kerinduan ini semakin merajai hati. Hatiku yang terlanjur benar-benar kau jatuhkan dan tak mampu lagi ditopang oleh yang lain. Hanya dirimu saja, hanya dirimu saja. Hingga pada akhirnya ketika tak dapat lagi kau sayangi hati ini secara nyata, seluruh bagian dari dirikupun tetap setia menantimu meski dalam senyum maya saja. Tahukah kau? Terkadang aku benar-benar ingin Tuhan menutup memoriku ini. Menghentikan aliran darahku yang melafalkan namamu di sudut tasbihku setiap malam. Hingga tak perlu lagi kurasakan yang seperti ini. Toh, bukan waktunya lagi kurasakan yang seperti ini. Inginnya kuminta pada Tuhan yang seperti itu. Menyudahi semua perjalanan, menutup mata tuaku.
Aku sudah lelah, kasih. Saat ini dunia tidak lagi seperti dulu. Semua sudah bercampur dengan hal-hal asing yang aku sendiri enggan mengetahuinya. Salahku masih tetap hidup di zaman ini. Membuat batinku semakin tersiksa saat tak lagi kulihat gadis-gadis muda mencuci baju dan menjemurnya di belakang rumah. Namun yang ada malah berkantong-kantong plastik warna warni yang selalu mereka bawa pulang, dan masyaAllah, sebenarnya samasekali tidak pantas disebut pakaian. Yang seperti itu mereka koleksi sebanyak mungkin, disimpan di lemari kamarnya, dan hanya ditumpuk-tumpuk demi kesenangan dunia saja. Sedang tak pernah terfikir oleh mereka membeli satu kerudung saja, atau sekedar baju berlengan panjang untuk menutupi aurat-aurat itu, onggokan daging yang membalut tulang dan disempurnakan oleh nyawa, yang pasti akan dimintai pertanggungjawabannya di hari yang tidak teragukan lagi kehadirannya, meski entah kapan.
Begitu pula ketika seruan azan menggema. Hati ini miris ketika kudapati kenyataan bahwa memang hanya aku saja di rumah besar itu yang masih selalu bergegas mengambil wudhu. Memang salahku masih tetap hidup di zaman ini, di zaman anak-anak kita, bahkan cucu kita. Meski sebenarnya hingga detik ini tak pernah sedikitpun kurasakan siap untuk menanti kedatangan undangan perak dari langit. Menyiapak jamuan selamat datang bagi sepasang sayap maut yang siap menopang jiwa lemahku meniti tangga-tangga naik untuk kembali pulang pada rumah yang sebenarnya. Sungguh banyak hal di sini yang membuatku takut mati. Apa yang akan dilakukan munkar dan nakir nanti untuk meminta pertanggung jawaban kepadaku jika keadaan yang kutinggalkan sudah sebegini parah dan tak ada yang dapat kulakukan untuk merubahnya? Sebenarnya pada awalnya aku sering menasihati mereka, namun semakin lama kuputuskan untuk menjaga kesehatanku saja daripada menegur tapi tidak diperhatikan lalu akhirnya jadi sakit hati dan sakit pula badan ini.
Huh, kasih. Kau lihat, kan? Aku tetap tak berubah sejak dulu. Terlalu banyak pikiran. Sebenarnya sudah kucoba untuk memikirkan hal-hal yang baik-baik saja. Mengenang pertemuan kita, ijab Kabul yang kau ucapkan di samping bapakku, melahirkan si kembar, anak bungsu kita yang kini sudah bisa membangun masjid, sampai cucu kita yang selalu pulang membawa piala ke rumah. Semua sudah kucoba. Namun apa daya, jiwa ini telah teracun resah. Tak kan luruh sebelum menguap, menyesakkan rongga qolbu.
Kasih, ini kukirimkan doa untukmu. Semoga kau tetap meyakini kesetiaanku sebagai istrimu yang taat dunia akhirat. Semoga kau mendapat tempat yang layak di sana. Sekali lagi kukatakan dari hati yang terdalam, aku di sini benar-benar merindukanmu dengan sepenuh rasa yang dapat kurasakan di dunia yang fana.
__ __

Perempuan ini duduk dengan gelisah beralas tanah. Mungkin gelisahnya itu lahir dari tubuh lemahnya yang tak mampu lagi terlalu lama menopang dirinya sendiri. Sendi-sendi itu sudah terlalu lama bekerja keras menopang tubuhnya. Mungkin sebentar lagi benar-benar akan tiba waktunya ia untuk beristirahat di atas pembaringan atau kursi goyang saja. Menatap senja menanti cucu-cucu tercinta pulang dari sekolah, atau bahkan menanti undangan yang khusus ditulisi tinta bening oleh malaikat.
Matanya terpejam sembari terus melahirkan bulir-bulir bening hingga jatuh ke tanah. Namun, karena raut wajahnya yang tak lagi mulus, dari jauh permpuan tampak seperti tidur saja, tidak menangis. Mungkin juga karena ia sudah terbiasa menangis, atau setiap saat menangis. Hingga tak dapat dibedakan apakah ia sedang menangis atau tidak karena saking seringnya menangis. Air mata itu seolah menyatu dengan wajahnya, menyatu dengan doa-doa yang senantiasa dipanjatkannya.
“Mbah? Mbah Putri?”
Seseorang menepuk bahu perempuan ini dari belakang. Rengkuhan halus itu menggetarkan hatinya. Cucu kita yang cantik ini mewarisi kelembutanmu, kasih, batin perempuan ini.
“Ya ampun Mbah.. kan sudah dibilangin, kalau mau nyekar Mbah Kung, Mbah Putri ga boleh sendirian. Kan ada Nina, Raras, atau Ali..”
Di tengah kompleks makam Asrama Bukit. Langit mulai merah menerpa riak-riak kecil di tepian teluk Balikpapan, samudera kecil yang menyimpan berjuta kenangan. Dermaga yang diam dan menemani hari-hari yang tampak biasa dilalui. Sang ombak menari-nari pelan, memantulkan cahaya dari langit Dan semua pun kini tampak bagaikan emas. Atap-atap rumah, atap sekolah, kendaraan-kendaraan bermotor yang tampak dari jauh, pepohonan, bangunan tinggi, menara obor Pertamina, laut, langit, semuanya..
Jemari itu memapah perempuan ini. Membimbingnya bergerak menjauhi sebuah pusara di tengah pemakaman yang sepi. Perempuan ini menengadahkan kepalanya sebentar ke langit. Awan jenuh itu merekah menjadi tabir cahaya. Aku tahu kau mendengarku disana, kasih. Assalamualaikum Perempuan tua ini tersenyum perlahan.

Komentar

Postingan Populer