hujan

Hujan belum juga reda. Kubuka pengait payung hitam dari balik pintu rumahmu, kupikir sudah saatnya kau berhenti mandi hujan sejak satu jam yang lalu. Kudekati kau yang sedang menengadahkan wajah ke langit, mengecap setiap bulirnya dengan khidmat, membiarkannya membalut seluruh tubuhmu, hingga meresap ke dalam bajumu, lalu kulitmu,… lalu sampai kepada hatimu. Kuhela ritualmu dengan memayungimu sembari mengajakmu masuk ke dalam
“Ayo masuk” bisikku padamu
“Sebentar lagi, ya” ujarmu memohon, memanfaatkan tatapan matamu yang adalah kelemahanku. Mana mungkin aku bisa menolak mata itu.
Lantas kugerakkan kakiku 3 langkah ke belakang, membuka dinding pemisah antara kau dan hujan, dan kau kembali ke dalam ritual sucimu, mengecap setiap bulirnya dengan khidmat, membiarkannya membalut seluruh tubuhmu,hingga meresap ke dalam bajumu, lalu kulitmu,… lalu sampai kepada hatimu. Aku tahu kau sangat senang dengan momen macam ini. Tidak hanya senang, kau bahkan bersyukur Tuhan telah menciptakan fenomena bernama hujan. Karena dengannya, air matamu akhirnya dapat jatuh dengan bebas tanpa perlu terjebak dalam entah. Karena dengannya, bebanmu akan terlepas tanpa perlu bibirmu bercerita. Karena dengannya, tubuhmu akan terbalut dalam dingin yang meliputi hingga ke hatimu, menjadikan segalanya terasa lebih nyaman, menjadikannya semua penat sejenak menghilang. Dan seolah telah mendapatkan kekuatan baru, sesudah itu kau akan kembali menjadi kau yang lebih ceria dari biasanya, lebih kuat dari biasanya, lebih siap menampung segala beban dari biasanya, hingga hujan selanjutnya datang, dan kau akan kembali menjalankan ritual ini, mengadukan segala keluh kesahmu pada hujan, mencari kekuatan dari setiap bening yang diteteskannya. Dengannya, kau telah mengalami candu luar biasa.

***

Kau terlalu lelah untuk semua ini, namun hujan memiliki kekuatan magis yang begitu besar hingga mampu membuatmu kembali kuat. Kepada hujan pula aku senantiasa berterimakasih karena telah membantuku memiliki alasan untuk selalu ada di sini; menungguimu berbasah-basahan sesukamu, lantas setelah kupikir waktunya cukup maka aku akan datang dengan payung yang selalu sengaja kusimpan di balik pintu, mengajakmu kembali masuk ke rumah, memberimu handuk dan pakaian kering, lantas menyuruhmu berganti pakaian selagi kubuatkan segelas susu hangat untukmu. Setelah itu kita akan duduk berhadapan meja kursi ruang makan yang telah sedemikian rupa ditata untuk mempermudah melihat halaman rumput itu, memandangi hujan yang masih terus turun sampai benar-benar berhenti.
Persahabatan kita selama ini telah membentuk sebuah ikatan kebiasaan yang aneh, dimana kau dan aku akan selalu mematuhinya tanpa menggerutu, dimana akan terasa ganjil jika semua ini suatu saat harus berhenti. Aku merasa telah begitu terbiasa dengan caramu ini. Dan jika memang ini satu-satunya investasiku untuk merasakan momen bersamamu dengan bebas, maka aku akan selalu dengan senang hati menjalaninya. Meski perhatianmu hanya tercurah pada hujan, meski aku selalu terduakan karenanya.
Hingga tibalah satu saat yang benar-benar kutakutkan selama ini. Suatu saat ketika negeri ini mengalami musim kemarau. Benar-benar tiada hujan. Benar-benar tiada setitik pun air yang jatuh dari langit. Kau gelisah menanti hujan. Aku gelisah menanti keputusan hatimu tentang hal ini.

***

Hujan belum juga reda. Aku memandanginya seperti semacam kerinduan dan kebencian yang entah. Rindu akan kebiasaan untuk menghampirimu dengan payung yang selalu sengaja kusimpan di balik pintu. Benci akan kenyataan tiadanya lagi seseorang yang akan kupayungi tersebut. Kau memilih pergi meninggalkan kota ini, meninggalkan negeri ini. Meninggalkan aku. Telah lama musim kemarau melanda negeri ini. Telah lama pula kau pergi. Kau lebih memilih menjalani hidup dengan cara yang lain, menyelesaikan semua masalah dengan caramu sendiri,mengejar sumber kekuatan jiwa utamamu hingga ke ujung dunia. Pergi ke tempat dimana saat itu hujan turun hampir setiap hari. Kulepas kepergianmu di bandara masih dengan rasa tidak mengerti,
“Kau benar-benar akan pergi?”
“Pesawatnya sudah menunggu” kau tersenyum pahit. Hujan benar-benar telah memanggilmu dimanapun ia berada
“Kau akan meninggalkanku?”
“Suatu saat aku pasti kembali, tentunya setelah hujan bersedia kembali ke negeri ini” dipandanginya langit yang cerah di atas sana
“Mengapa tidak kau ajak aku juga bersamamu?”
“Jangan bodoh, Ray. Kau mau ikut aku mengejar hujan keliling dunia?”
Kau tertawa karenanya. Aku menelan ludah satu kali
“Kau telah memiliki kehidupan yang baik di sini. Istrimu, anakmu. Tinggalah untuk mempertahankan yang telah ada”
“Siapa yang akan mengingatkanmu kalau waktunya sudah terlalu lama? Siapa yang akan menyiapkan handuk dan pakaianmu? membuatkanmu susu hangat?”
Kau tertawa lagi karenanya. Aku menelan ludah dua kali
“Kau ingat malam ketika anakmu sakit dan aku mandi hujan tanpa ditemani?”
Tentu saja aku ingat itu. Malam itu kau basah habis-habisan dan berakhir dengan demam tinggi. Aku merasa sangat bersalah karena baru bisa datang esoknya. Malam itu,Si kecil yang sedang sakit benar-benar tidak bisa tidur tanpa ditemani aku dan ibunya di kamarnya.
“Malamnya sebenarnya aku sudah buat susu dan ganti baju kan. Tapi memang dasarnya sial aku tetap sakit waktu itu” ujarmu tersenyum sambil mengenang
“Jangan terlalu mengkhawatirkanku, kawan” Kau meyakinkanku, gugur sudah semua alasanku untuk menahanmu pergi.
“Aku menyayangimu, Si” ujarku lirih.
Matamu memberiku tatapan itu, mencoba meyakinkanku bahwa kau tahu aku memang benar menyayangimu, dan bahwa kau akan baik-baik saja, dan bahwa kau sangat mengharapkan keikhlasanku melepasmu pergi. Mana mungkin aku bisa menolak mata itu

***

Semenjak kepergianmu aku sendiri baru menyadarinya. Bahwa kau dan aku tidak pernah tahu mengenai kenyataan tentang segala yang membuatku bertahan selama ini adalah karena adanya dirimu di sini. Meski aku telah menikah dan memiliki anak, kehadiranmu tetaplah bagian dari keseimbangan hidupku. Sesuatu yang telah ada sejak dulu dan tak tergantikan oleh apapun. Ketika sesuatu itu hilang otomatis ada yang timpang entah dari sebelah mana diriku.
Kini hujan telah bersedia turun di negeri ini namun kau belum juga kembali. Kulangkahkan kaki telanjangku ke taman rumput tempat kau selalu melakukan ritual sucimu. Kini, aku yang akan melakukannya untukmu, mengecap setiap bulirnya dengan khidmat, membiarkannya membalut seluruh tubuhku, hingga meresap ke dalam bajuku, lalu kulitku,… lalu sampai kepada hatiku. Bersama hujan ini aku memanggilmu kembali.

-untuk seseorang yang sangat menantikan hujan-

Komentar

Postingan Populer