pulang

“Ibu ada acara ya?” Tanyaku setelah melihat meja makan. Ada piringan-piringan besar dengan bermacam makanan dalam porsi yang tidak biasa di sana.

Namun Ibu hanya membalas pertanyaanku dengan senyuman sambil lalu. Masih ditatanya kue-kue basah itu dengan seksama.

***

Pertengahan bulan Oktober. Tepat ketika hujan mulai sering mampir ; membasahi pepohonan, bangku taman, tiang listrik, dan atap rumah. Diciptakannya genangan-genangan kecil untuk jadi cermin langit, memaksa alas kaki meninggalkan jejaknya pada tanah..

Di saat seperti inilah aku di sini, duduk bersandar pada kursi bus ; memeluk ransel hitam penuh buku dan pakaian di atas pangkuan. Titik-titik air hujan dan embun memenuhi kaca bus sehingga mengaburkan pandangan ke arah luar. Sebenarnya tidak ada hal yang bisa dilakukan selain tidur –penumpang lain sudah melakukannya daritadi-, tapi aku tidak. Kurasakan kedua kaki ini menjejak lantai bus dengan tegang, tidak mau terlena. Namun perjalanan dalam musim yang dingin ini akan menempuh waktu tiga jam. Apa aku harus dalam posisi seperti ini terus? Tentu tidak. Dan karena itu kupaksa kedua kakiku untuk rileks. Kuhela gelisahku pada sandaran bus, berusaha menyelaraskan lekuk tulang punggungku dengan tekstur bangku ini, mencari posisi senyaman mungkin.

Sesaat kuputuskan untuk memejamkan mata saja –entah mengapa-. Namun ternyata alam bawah sadarku tidak juga berhasrat memanggil. Hingga meski mata ini terpejam dan punggung ini bersandar dengan nyaman, kedua kakiku tetap menjejak di atas lantai bus dengan pasti. Kedua kakiku yang awas inilah yang menjadi tanda bahwa sebenarnya aku masih terjaga. Beberapa menit berlalu dan hujan terdengar makin deras. Tiba-tiba dalam sepersekian detik kurasakan tubuhku bergetar, menyadari bahwa sudah lama aku tidak dalam keadaan seperti ini, keadaan pulang ke rumah.

Barangkali sudah sekitar 5 tahun; 5 tahun yang melewatkan 5 idul fitri, melewatkan 5 idul adha, melewatkan 5 tahun baru,melewatkan 5 ulang tahunku,melewatkan 5 ulang tahun ibu,melewatkan ratusan musim yang berganti,melewatkan ribuan akhir pekan yang menyenangkan, melewatkan puluhan ribu momen indah, melewatkan jutaan cinta yang kubiarkan menguap begitu saja bersama separuh jiwaku yang terbang selama 5 tahun..

Dan berputarlah kenangan-kenangan itu dalam memori mataku yang terpejam, beserta hujan sebagai pengiringnya. Sesaat aku memohon pada alam bawah sadar untuk menelanku saja dalam keheningannya. Namun pita rekam yang kembali diputar dalam otak itu ternyata begitu mesra memanggil, begitu menggoda untuk kembali dilihat ulang. Akulah yang tergoda itu, menonton kembali semua kenangan 5 tahun yang lalu, tanpa terkecuali, tanpa terkecuali..

Jelas sekali rasanya paras ibu, paras ayu perempuan bali muslim yang selalu memancarkan cahaya bekas wudhunya. Ada tahi lalat di bagian pipi yang dekat dengan bawah mata kanannya. Dan membayangkan wajah ibu hanya akan membawaku kembali membayangkan rumah, bangunan bercat putih yang senantiasa dikelilingi bunga-bunga. Begitu banyak bunga, hingga bagian halaman yang kosong dan dapat kami lewati hanyalah jalan setapak berbatu selebar satu meter dari pagar menuju pintu rumah. Aku ingat sekali di jalan setapak itu aku sering jatuh saat berlari pulang dari sekolah, sampai-sampai setiap kali pulang aku selalu sampai didepan pintu dalam keadaan menangis. Pintu itu pintu kayu besar berpelitur ukiran bali. Tapi karena kami adalah keluarga muslim, ukiran-ukiran itu berbentuk tanaman-tanaman rumit, bukan manusia atau hewan. Di ruang tamu ada satu set meja dan kursi dari kayu jati yang disusun membentuk huruf L. di ruang tamu itu juga terdapat satu lemari panjang setinggi pinggangku. Di atasnya, ibu meletakkan foto-foto keluarga. foto-foto itu berada di dalam frame dengan bentuk, jenis, dan warna yang sama ;kayu hitam polos. Bingkai-bingkai itulah satu-satunya barang pajangan dari kayu yang tidak berukir. Dan Ibu tidak pernah membiarkan mereka berdebu.

Masuk ke dalam lagi ada ruang keluarga; tv, kursi malas ayah, meja dan kursi makan, karpet hijau tebal,dan dua bantal besar yang warna sudah usang namun saaangat nyaman. Rumah kami sebenarnya biasa-biasa saja. Sampai di ruang keluarga itu ada tiga kamar, satu kamar mandi, dapur, dan halaman belakang yang berumput. Bagi orang-orang yang pernah ke rumah kami, rumah ini sangat hangat. Dan aku setuju akan hal itu. Entah apa yang menyebabkan jadi seperti itu, tapi rumah ini memang benar-benar hangat dalam definisi hangat yang sebenarnya. Kadang aku berpikir mungkin karena rumah ini bernuansa coklat, kadang aku berpikir mungkin karena rumah ini sering ditutup, dan yang lebih parahnya lagi kadang aku berpikir rumah ini jadi hangat krena ibu suka memasak sehingga uap masakan memenuhi seluruh ruangan di dalam rumah. Tapi aku tau tentu itu bukanlah jawaban yang tepat, dan aku akan merasa lega setiap kali hatiku mengingatkan bahwa rumah ini hangat karena di dalam rumah ini ada seorang perempuan seperti ibu. Meski akhirnya pernah juga kurasakan kehangatan rumah ini begitu berlebihan, hingga menjadi api..

Sudah lewat 5 tahun ternyata, ketika jiwa mudaku masih bergolak, dan jiwa idealis ayah masih tertanam kuat. Aku adalah anaknya, dan karena itu dialah yang membentuk jalanku. Namun seiring waktu aku pun tumbuh menjadi manusia matang. Bukanlah hak ayah lagi untuk mengatur hidupku ketika aku sudah baligh. Hal sepele sebenarnya. Sama seperti remaja-remaja lain yang merasa dikekang dan tidak diberi kepercayaan. Aku mulai berontak, tentu tidak ekstrim. Aku tidak senekat itu. Paling aku pulang lebih lama dari biasa, mulai ada rokok di tas, mulai bangga dengan baju compang camping, mulai memanjangkan rambut, dan mulai menikmati perdebatan-perdebatan kecil dengan ayah. Untuk standar teman-temanku, aku masih tergolong alim sebenarnya, namun ternyata kelakuanku membuat ayah pening. Sementara usaha keluarga sempat jatuh, dan ayah pun mulai panik. Ayah jatuh sakit.

Hingga suatu malam ketika aku pulang dalam keadaan menghisap setengah rokokku, dari halaman kudengar sayup-sayup tangis dari dalam rumah, segera kulempar barang-barangku –terakhir aku tahu ternyata rokokku menyulut bunga melati ibu yang baru saja mekar-. Kudapati rumah hening, hanya ada satu sumber suara yaitu dari kamar ayah. Suasana ricuh, kudapati banyak keluarga berdatangan, semua menangis, aku berhambur ke arah ranjang, ada sosok lemah di situ.

“sudah cukup bandelnya, Bagas. Kamu laki-laki, jaga ibumu, Nak”

Dan air mata pun jatuh seiring napas detak terakhir dari tangan yang kugenggam itu. Baru kusadari ternyata aku bisa menangis juga. Seperti sekarang, ternyata mata yang terpejam ini sudah lama basah. Sedikit terbuka ketika kuseka, tampak hujan masih turun deras, penumpang di sebelahku masih tidur pulas. Kupejamkan lagi mata ini..

Tepat seratus hari sejak ayah pergi. Masih kugenggam buku yasin dengan foto ayah pada cover depannya ketika kulihat ibu duduk sendiri memandangi foto kami. Aku sudah berubah saat itu. Semua hal-hal aneh telah kulepaskan, aku kembali seperti anak ayah yang dulu.

“Bu..” ibu tersenyum tanpa mengalihkan tatapannya kepadaku.

“Bagas mau pergi” kurasakan tubuh yang lebih kecil di sampingku itu bergetar sesaat

Dan pergilah aku merantau untuk mengadu nasib, lepas bebas seperti kepompong yang telah menjelma kupu-kupu. Kukibaskan sayapku selebar-lebarnya sembari mencoba membayar rasa penyesalanku tentang kenangan akan ayah. Kucari uang sebanyak-bannyak, kucoba tidak larut dalam kesedihan dengan meninggalkan rumah itu dan ibuku yang tegar. Tidak pernah sekalipun kujenguk ibuku, tetapi selalu kuisi tabungan ibu dengan uang halal hingga mereka tidak pernah merasa kekurangan. Hanya satu permintaan ibu yang belum kupenuhi… pulang.

Namun kini telah kujejakkan kedua kakiku di lantai bus, suasana bus mulai ramai, terminal mulai tampak dari kejauhan. Aku bersiap turun, melipat kedua sayapku, kembali pulang ke sarang.

***

Awalnya langkah kedua kaki ini terasa pasti, tapi semakin dekat dengan rumah, jejakku malah semakin lemah. Tiba-tiba terlintas pemikiran-pemikiran aneh, bagaimana kalau ibu sudah… bagaimana kalau ketika aku pulang rumah sudah… ah! Sudah! Sudah! Kutepis galau itu dengan mempercepat langkahku. Kuyakinkan hatiku bahwa Ibu masih sehat. Kepulanganku ini, adalah kejutan untuknya.

***

Hening merayap ketika jalan setapak ini menyapaku. Ada rasa syukur, rumah ini masih sama meski 5 tahun telah berlalu. Kulangkahkan kaki memasuki rumah hangat ini, berjalan melewati pintu kayu berpelitur ukiran bali. Suasana di dalam masih sama, masih hangat. Bingkai-bingkai foto pun masih tetap bersih dari debu. Kulangkahkan kaki dengan berjingkat-jingkat memasuki rumah lebih dalam, mendapati sesosok perempuan bali muslim yang masih selalu memancarkan cahaya bekas wudhunya. Perempuan itu berbalik sebelum aku sempat mengagetkannya, ia tersenyum saja. Perempuan itu ibuku.

“Ibu ada acara ya?” Tanyaku setelah melihat meja makan. Ada piringan-piringan besar dengan bermacam makanan dalam porsi yang tidak biasa di sana.

Namun Ibu hanya membalas pertanyaanku dengan senyuman sambil lalu. Masih ditatanya kue-kue basah itu dengan seksama. Aku mengambil kursi dan duduk di dekat meja makan, memandangi masakan yang ternyata semuanya adalah kesukaanku. Ibu menghampiriku sambil membersihkan tangannya dengan celemek. Kucium tangannya yang wangi kue basah, dielusnya kepalaku perlahan. Lalu diambilkannya aku sepiring nasi dan lauk, aku pun mulai makan dengan lahap. Kalau begini caranya, aku jadi merasa tidak seperti 5 tahun tidak pulang.

“Ibu ga’ kaget Bagas pulang?”

“Ibu sudah tau”,

“Tadi malam ada angin kencang, pintu kamarmu berderit. Tidak pernah begitu selama 5 tahun terakhir” ibu melanjutkan kalimatnya

“Jadi makanan ini..?”

“Naluri Ibu selalu benar kan..?”

“Buat Bagas aja Bu?”

“Masa’ anaknya 5 tahun gak pulang gak disediain apa-apa” ujarnya sambil tersenyum.

“Bu, Bagas pulang, gak akan pergi lagi” Kuambilkan sepiring nasi dan lauk untuk ibuku,

Komentar

Postingan Populer