kopi

            Rintih gerimis malam berpadu dengan suara mesin laptop yang mengerung halus. Sudah hampir satu jam suara mesin itu berpacu dengan gerimis, ditemani pula oleh lampu modem yang tak henti-hentinya berkedip memendarkan cahaya hijau, namun jemari Lila masih belum jua menari dengan tombol-tombol keyboard seperti biasanya. Ia masih memikirkan kejadian siang tadi. Gadis tanggung itu masih memikirkan perbincangan kecil dengan teman sekelasnya di hari pertama ia masuk sekolah yang baru.
            ”Gimana nih, bisa gak ngerjain tugas kelompok minggu pagi?” Tanya Bondan
            “Wah, maaf ya, kalau minggu pagi aku gak bisa sepertinya” jawab Mirna
            “Kayaknya dari dulu kalau minggu pagi memang kamu selalu gak bisa deh, Mir” celetuk Debi. Bondan ber-oh iya ya, baru teringat kalau Mirna hampir pasti tidak akan bisa datang kerja kelompok kalau waktunya hari minggu pagi
            “Kenapa gak bisa?” Tanya Lila yang masih siswi baru di sekolah itu.
            “Aku bantu ibuku jualan di rumah, La”
            “Oh ya? Jualan apa?”
            “Ya makanan”
            “Makanan?”   
“Iya, tapi paling aku bantuin buat kopi aja” ujar Mirna tersenyum padanya
            “Kopi?”
            “Hoi, kok malah ngomongin jualannya Mirna? Gimana nih? Jadi kapan kita belajar kelompoknya?” Bondan memutus pembicaraan mereka, namun entah mengapa Lila tidak tahan untuk kembali bertanya, maka kali ini ia bertanya dengan sedikit berbisik sementara teman-teman mereka yang lain sibuk membicarakan tugas kelompok mereka.
            “Kamu sering buat kopi, Mir?”
            “Iya, buat kopi itu tugasku di warung, kenapa? Kamu mau coba kopi buatanku? Hihi”
            “Hehe gak.. oh ya, kamu sering buat kopi untuk ayahmu gak?”
            Suasana yang renyah mengalir menjadi senyap. Semua yang ada di lingkaran tersebut terdiam menatap Lila penuh makna. Kecuali Lila, semua yang ada di situ tahu bahwa...
            “Ayahku sudah gak ada ,Lil” Mirna mencoba tersenyum meski kentara sekali ada getar di suaranya. Lila terdiam bersalah.
            “Tapi kalau kopi, dulu aku selalu buatin ayahku kopi tiap pagi. Memangnya kenapa La?”
***
Mesin laptop masih menggerung halus. Lila masih merenungi pembicaraan tadi siang. Sederhana sekali sebenarnya. Hanya persoalan membuat kopi, Lila juga bisa. Tapi jika membuat kopi untuk ayah… Mungkinkah Lila bisa?
Sudah sekian lama tinggal bersama ayahnya, Lila tidak pernah merasa bahwa laki-laki itu benar ayahnya. Lila bahkan hampir tidak pernah bertemu dengannya. Dia terlalu sibuk untuk meninggalkan pekerjaannya. Terutama setelah ibu Lila tiada , ayah semakin sibuk lagi menyisakan waktunya meski hanya untuk duduk sejenak di rumah. Dan Lila terlalu tidak mengerti bagaimana caranya meminta agar lelaki itu bisa pulang untuk sekedar duduk di ruang keluarga, menonton acara TV gak penting dan berbasa-basi mengajak putrinya ngobrol, bagaimana sekolahmu Lila? Bagaimana teman-temanmu? Apa ada PR untuk besok Lila? Ah…
Semalaman itu laptop Lila menggerung tanpa berhenti. Ia tertidur tanpa berhasil menuliskan apapun dalam notenya
***
“Kamu pinter gambar juga ya ternyata?” Bisikan Mirna memecahkan lamunan Lila di tengah pelajaran fisika di kelas siang itu.
“Eh..em.. gak juga kok, Cuma suka coret-coret aja”
“aku suka nih gambarmu yang ini,” ujar Mirna kemudian sembari menunjuk sebuah sketsa perempuan yang membawa secangkir kopi.
“Ini kopi kan? Jangan-jangan ini gambar tentang aku ya?” Mirna bertanya menggoda
“Eh, hehe iya nih. Terinspirasi sama ceritamu kemarin,” Jawab Lila sekenanya
“Kamu kenapa sih La?”
“Eh, kenapa?”
“Ya, aku tahu sih kita baru temenan. Tapi aku ngelihat kamu kayaknya ada masalah  gitu. Aku mau dengerin lho kalau-kalau kamu pengen cerita”
“Oh.. itu.. gak papa kok.. aku gak ada masalah apa-apa, Mir”
“Oh ya udah.. kapan-kapan cerita aja ya”
“ Iya..”
“Em..Mir?”
“Ya, kenapa La?”
“Em..maaf ya yang kemarin aku gak tahu kalau ayahmu..”
“Iya gak papa. Aku ngerti ajalah, kan kamu anak baru di sini, La. Gak usah dipikirin”
“Em, aku mau Tanya satu hal boleh? Tapi kalau kamu gak mau jawab juga gak papa, Mir”
“Iya aku bakal jawab. Kamu mau tanya apa sih ,La? Tentang ayahku lagi nih kayaknya?”
“Em..gimana caranya ngasih secangkir kopi ke ayahmu?”
***
Sore itu Lila sibuk berkutat di dapur. Setelah ‘mengusir’ Bi Nah sebentar dengan menyuruhnya membeli sesuatu di warung yang agak jauh dari rumah, Lila mulai mengutak-atik isi dapur, mengambil satu set cangkir,air panas,sendok, gula,dan…. kopi. Tidak butuh waktu lama untuk membuatnya, tentu saja.  Dan tepat sesuai waktunya, ayahnya pulang dari kantor. Biasanya sang ayah langsung masuk ke kamar dan tidak pernah keluar kamar sampai pagi lagi. Sejak istrinya tiada dan memutuskan kepindahan mereka di rumah yang baru, ayahnya tidak pernah makan malam kecuali jika ada acara makan malam dengan relasi kerjanya.
Derum mesin mobil terdengar sampai ke dapur, dan Lila sudah bersiap-siap membawa secangkir kopi di tangannya. Namun apa daya, sampai ayahnya masuk rumah dan masuk kamar, Lila tidak mampu menggerakkan kedua kakinya melangkah keluar dari dapur. Ia hanya mampu bersandar di dinding dapur, mendengarkan langkah kaki ayahnya dan lalu suara pintu kamar yang tertutup. Lila bersandar pasrah sambil masih terus memegang secangkir kopi yang masih mengepul hangat.
Dengan lunglai ditumpahkannya cairan hitam pekat itu ke wastafel dapur lalu dinyalakannya keran air hingga kopi itu larut bersama air dan hilang dari pandangan Lila
“Lho, non Lila lagi ngapain?”
“Nyuci, Bi” Jawab Lila sambil mencuci cangkir tersebut
“Lho, perasaan tadi Bi Nah gak ada ninggalin cangkir kotor”
“Iya, ini tadi saya, Bi. Habis buat…”
“Buat apa,Non?”
“Buat teh anget. Saya tadi lagi pengen teh anget, Bi. Jadi sekalian dicuci”
            “Oh… oya,ini Non Buku tulisnya, tadi Bi Nah beli jauh di tempat fotokopi di jalan depan. Maaf ya Non agak lama jadinya”
            “Iya, Bi. Makasih ya, Bi Nah”
            “Iya, Non Lila”
***
            “Gimana, La? Udah buatin kopi ayahmu kemarin?”
            “Udah”
            “Terus? Komentar ayahmu gimana?”
            “Gak komentar apa-apa, Mir”
            “Lho?”
            “Ayahku gak minum kopinya. Aku gak berani ngasihnya”
***
            Satu minggu berlalu dan hubungan Lila dan ayahnya masih stagnan pada posisi yang sama: jauh. Hingga suatu hari Bi Nah terpaksa pulang kampung karena orangtuanya sakit keras. Lila dan ayahnya hanya tinggal berdua di rumah. Untuk urusan makan memang masih bisa catering atau pesan antar, masalah pakaian kotor juga masih ada jasa laundry. Tinggal urusan bersih-bersih kamar yang dibebankan kepada Lila
            “Kamu bersih-bersih kamar selama gak ada Bi Nah, gapapa kan?” Tanya ayahnya suatu hari
            “Gak papa”
            “Kamar ayah gak usah dibersihin ya”
            Sebenarnya Lila masih ingin bertanya mengapa, tapi diurungkannya dengan jawaban ya.
***
            Sore itu sang ayah pulang dalam keadaan kehujanan. Saat itu sedang musim flu, dan Lila pun kena flu karena ketularan teman-temannya di sekolah. Tapi Lila masih sanggup membereskan rumah, karena sakitnya belum terlalu parah. Lagipula selama ini rumahnya kan gak kotor-kotor amat.
            “Mobil ayah mana?”
            “Mogok, tadi udah deket jadi ayah pikir jalan bentar ga masalah, ternyata hujannya tambah deras”
            “Ini Yah, dikeringin dulu badannya”
            Ayah Lila langsung masuk kamar. Malam itu hujan tambah deras, Lila merasa kurang enak badan. tapi ia lebih mengkhawatirkan kondisi ayahnya yang baru kehujanan
            Tok tok tok
            “Kenapa La?”
            “Ayah..sudah makan belum?”
            “Sudah sudah tadi. Kamu tidur saja sana”
            “Hatchi! Oh yaudah”
            “La, kamu sakit?” ayah bertanya sambil langsung menempelkan punggung tangannya di dahi Lila. Malam itu sang ayah merawat Lila untuk pertama kalinya setelah ibunya tiada.
            Esok paginya Lila terbangun dalam kondisi lebih baik. Ia baru sadar kalau ayahnya tertidur di kursi belajarnya. Ayahnya menungguinya tidur semalaman. Lila beranjak lemah dari tempat tidurnya, melangkah pelan menuju dapur dan mulai menjerang air panas. Setelah beberapa saat mencampurkan semua bahannya dan mengaduk rata, terciumlah aroma hangat yang nikmat.
Lila memejamkan matanya, mencoba menguatkan diri bahwa ia tidak boleh gagal kali ini. Dengan tangan yang masih sesekali bergetar diangkatnya benda mudah pecah itu. Ketika ia berbalik, terkejutlah ia karena ternyata ayahnya sudah berdiri di depan pintu dapur. Dari posisinya sepertinya ayahnya sudah lama dalam keadaan seperti itu. Lila merasa getaran di tangannya menghebat, apalagi sebenarnya dia belum sembuh betul dari sakitnya.
            “Sejak kapan kamu suka minum kopi, La?” Tanya ayahnya
            “Em..gak yah. Lila gak pernah minum kopi”
            “Jadi itu kopi buat siapa? Buat ayah?” Tanya ayahnya dengan santainya
            “Eng.. iya.. ini kopi buat ayah.. Lila tau kopi ini gak seenak buatan ibu. tapi kopi ini memang lila bikin buat ayah”
            Sang ayah terdiam memandangi putrinya yang masih pucat itu. cangkir kopi itu bergetar makin kuat, membuat air kopi di dalamnya sedikit tumpah membasahi lantai. Namun ketika tangan sang ayah akhirnya menyambutnya, menerima cangkir yang mulai panas dan menyentuh jari-jemarinya yang masih lemah, Lila tahu bahwa semuanya akan lebih baik sejak saat ini.

Komentar

Postingan Populer