Ray & Maria

Meja dan kursi tengah diberesi, spanduk dan x-banner launching buku terbaru telah dicopot dari tempatnya, beberapa orang membersihkan sisa-sisa konsumsi, beberapa yang lain tengah sibuk dengan kardus-kardus entah berisi apa, memindahkannya entah kemana. Setelah berbicara beberapa saat ia pergi dengan mengendarai mobil hitamnya, sisa-sisa urusan ini sudah diserahkan ke adiknya. Namun ia tidak langsung pulang ke rumahnya, ia memilih membawa mobil hitam itu ke suatu tempat dimana ia dapat melihat langit sekaligus laut dalam waktu yang bersamaan.
Ia memakirkan mobilnya di pinggir jalan yang tepat berbatasan dengan debur ombak di sebelah pagar pembatasnya. Jalan beraspal itu terletak sepuluh meter lebih tinggi, sehingga debur ombak hanya semacam suara raungan seseorang yang mencari kekasihnya. Malam gelap dan lampu jalan yang mati menjadikan ia sebenarnya tidak bisa melihat apa-apa, namun sepertinya malam itu adalah malamnya, karena rembulan yang baik bersedia menjadikan dirinya purnama, membiaskan cahaya yang cukup terang dari biasa, membuat lautan tenang , debur ombak, dan langit itu sendiri menjadi lebih jelas dari malam biasanya. Ia keluar dari mobilnya, bersandar pada mobil hitamnya sembari menghadap lautan luas dan langit yang juga luas. Ia menatap seperti lurus ke depan, entah ke langit entah ke laut, entah kemana. Entah ke dua-duanya, atau tidak ke dua-duanya.
Banyak orang-orang yang melakukan hal sama seperti dirinya – kebanyakan berpasangan. Beberapa mobil dan motor terdengar lalu lalang dengan cepat di belakangnya. Malam itu ramai seperti biasa, meski suasana remang seperti biasa. Hanya ada bulan dan cahaya lampu mobil dan motor yang menjadi sumber penerangan, lampu-lampu jalanan itu sudah lama beralih fungsi menjadi dekorasi semata. Malam itu ramai namun tak diacuhkannya. Matanya masih tampak focus pada satu titik tak terlihat, sesungguhnya keberadaannya di sini hanya kedok saja, sementara mata itu, focus itu, berada pada satu hal yang masih sama, yang kemudian akan membuat pelupuk matanya berat, dan jatuhlah ia di sana, tepat pada lubang yang menganga di antara langit dan laut. Lubang itu bernama kenangan.
“Ray..”
Hanya itu yang mampu diucapkannya setelah sekian jam berada dalam posisi yang sama. Dan kata selanjutnya hanya mampu diucapkannya dalam hati, hanya mampu disampaikannya lewat diam, hanya mampu ditanyakan melalui angin, menembus rasa sepi yang paling sepi, mewakili sebuah pertanyaan yang tak kunjung ia dapati jawabannya.

***

    Malam itu ia mentraktir Ray makan malam di warung makan sederhana langganan mereka. Malam itu mereka merayakan tulisannya yang berhasil dimuat di sebuah majalah terkenal untuk pertama kalinya. Malam itu mereka berdua, bersandar pada mobil hitamnya, memandangi laut dan langit bersama.
    “Sudah kubilang kan, kamu berbakat menulis” Ray mengembangkan senyum sempurnanya
    “Baru sekali ini,Ray. Jangan berlebihan” Nyatanya ia senang dipuji begitu
    “Ini awalnya, Maria. Suatu hari nanti kamu pasti bakal menulis banyak buku”
    Ia mengaminkan. Ray menggenggam tangannya
    “Kamu harus terus menulis, Maria. Nanti kalau buku pertamamu terbit, kita jalan-jalan lagi seperti ini, tapi aku yang bayar, oke”
    Hatinya dielus sesuatu. Ia mengucapkan amin satu kali lagi
    “Aku akan selalu mendukungmu, bahkan sampai aku mati”
    Ucapan sungguh-sungguh itu membuat hatinya berdebar. Nyatanya itulah yang benar-benar terjadi. Malam itu juga, setelah merasa cukup menikmati malam mereka memutuskan pulang. Tiba-tiba sebuah mobil yang dikendarai seseorang yang mabuk bergerak lepas kendali, menyerempet mobil hitam Ray hingga bergeser keras mendorong Maria yang berada di sisi satunya, namun ia aman karena langsung ditolong orang-orang untuk menjauh dari kecelakaan itu.
Tapi segalanya terjadi begitu cepat, lebih cepat dari yang dilihat, lebih cepat hingga semua menjadi terlambat. Mobil pemabuk itu meluncur deras menabrak Ray yang hendak membuka pintu kemudi mobil hitamnya dan beberapa orang lain di sekitarnya tanpa sempat menyelamatkan diri. Mobil itu menghancurkan pagar pembatas dua lapis, menimbulkan bunyi benturan yang dahsyat dan langsung terjun bebas ke laut.
Maria tersentak. Shock membuat seluruh sistem tubuhnya lumpuh. Beberapa detik kemudian ia pingsan.  Malam itu empat orang tewas dalam waktu dan tempat yang bersamaan. Ray salah satunya.

***

    Mata air di matanya meleleh lagi. Waktu telah membereskan semuanya; bekas kecelakaan yang sudah diperbaiki. orang-orang yang telah melupakan dan kembali gemar duduk-duduk menghabiskan malam, Ia yang telah menulis banyak buku. Tapi waktu ternyata telah melewatkan satu hal, waktu telah luput membereskan satu hal; rasa kehilangannya, rasa kehilangan yang tak terperi.
Rasa kehilangannya, rasa kehilangan yang tak terbayar meski telah ia perbaiki mobil hitam itu. rasa kehilangannya, rasa kehilangan yang tak kunjung sudah meski telah dihabiskannya berjam-jam berdiam di tempat ini, mencoba mengikhlaskan. Rasa kehilangannya, rasa kehilangan yang tak jua selesai meski telah disebarkannya lewat banyak buku, banyak cerita, banyak puisi, banyak lirik lagu. Langit dan laut ini pun dirasakannya tak jua menjelaskan rasa kehilangan yang tak kunjung sudah ini. Tak ada yang bisa menjelaskan padanya. Karena itu ia tak sanggup menahan tangis, karena itu ia pun menangis.
    Sudah berjam-jam ia di sana, beberapa orang sudah memutuskan pergi, mobil dan motor hanya tinggal satu dua yang lalu lalang dengan cepat di belakangnya, hanya laut dan langit dan purnama yang masih di sana, menemaninya membebat luka dengan kassa yang baru. Ia tak tahu cara yang tepat untuk membebat lukanya dengan benar, ia tak pernah menemukan orang yang tepat untuk membantunya mengobati luka itu dengan benar. ketika pasangan terakhir di sana sudah memutuskan pergi, ia pun mulai masuk ke mobilnya hitamnya. Jalanan sungguh sepi saat itu, jam digital di dalam mobil menunjukkan angka 03:08 dan sesaat kemudian menjadi 04:09. Waktu menjadi begitu cepat baginya, namun ia masih juga belum memahami apa-apa. Pukul 04:15 ia mulai menyalakan mesin mobil hitamnya sembari memutuskan untuk menurunkan seluruh kaca jendelanya. Serta merta angin menyeruak masuk ke dalamnya, berputar-putar menghembuskan keheningan. Keinginannya sangat sederhana, ia hanya ingin merasa ikhlas, ia hanya ingin merasa lega.
    Matanya kembali menatap pagar pembatas itu, di sanalah tempat terakhir kali ia melihat Ray, terseret sepanjang 10 meter dalam waktu kurang dari 5 detik. Di sana terakhir kali ia melihatnya sebelum akhirnya tubuh lelaki itu ikut tercebur ke laut, terseret ombak yang ganas, dan secara aneh jasadnya tak ditemukan hingga sekarang. Padahal jasad mobil dan pemabuk-pemabuk itu berhasil ditemukan. Ia mulai memundurkan mobilnya perlahan. Di sana ia menumpukan air matanya, sembari kaki kanannya menginjak pedal gas tiba-tiba, hanya jarak 10 meter, tentu mudah baginya. Ia tidak menginginkan kematian, ia hanya menginginkan penebusan. Dipikirnya mungkin ini cara yang tepat untuk menebus rasa sesaknya, menjawab pertanyaan-pertanyaannya. Jika memang dengan ini ia mati, toh semua orang pasti mati kan?
    Pedal rem itu terinjak tiba-tiba, menimbulkan decit keras dan panjang, meski begitu roda-roda itu masih beputar dalam beberapa detik. Jantungnya nyaris tak lagi terasa berdebar, karena terlalu cepat berdebar atau karena memang tak berdebar sama sekali. Ia tak tahu. Mobil itu berhenti tepat lima senti di depan pagar pembatas ketika tiba-tiba dirasakannya bibir seseorang meminjam angin untuk bicara, jangan sekarang Maria.
Sesaat kemudian secercah jingga dari ufuk timur mulai memancarkan sinarnya perlahan, mulai menjadikan segalanya terang meski masih dalam balutan remang. Tetaplah menulis, menulislah untukku. Angin berhembus semakin dalam hingga ke hatinya, debur ombak mendadak menjadi tenang, dan sekelompok burung dari selatan mulai terbang mencari makan. Tampak dari kejauhan beberapa perahu nelayan mulai menepi, membawa berkilo-kilo ikan untuk dijual ke pasar, lautan pun seperti sehamparan sutera putih yang bergelombang dimainkan angin, mempermudah perahu-perahu kecil itu untuk kembali ke asalnya.
Maria hanya tertegun menatap keindahan matahari terbit itu. Seketika angin terasa semakin sejuk, sinar mentari yang masih sedikit terasa begitu memeluk,dan aroma lautan terasa begitu hangat baginya. Akhirnya ia menyadari sesuatu,ia telah menemukan cara untuk merasakan kelegaan, ia telah menemukan cara untuk mengikhlaskan . Kini ia menyadari betapa alam telah memberi banyak pesan Ray untuknya.
Pesan yang hanya perlu dirasakan, dicium, diresapi, dikecap, bahkan ditelan. Bukan seperti yang ia lakukan selama ini, bahwa menulis yang dilakukannya hanya semata pelampiasan tanpa arah dan hanya selalu bermuara pada kesedihan semata. Kini ia mengerti bahwa Ray telah menyiapkan baginya begitu banyak inspirasi indah. Inspirasi untuk kembali dituliskannya melalui buku-bukunya. Inspirasi untuk menjadikan kepergian Ray sesuatu yang bermanfaat bagi orang lain. Air mata itu terjatuh lagi, namun kini ada senyum di ujung bibirnya. Ia mengerti kini, ia benar-benar mengerti.

Komentar

Postingan Populer