Perempuan itu menghentikan langkahnya. Dilepaskannya sepasang alas kaki dan dilanjutkannya langkah-langkah kecil dan sendiri itu di atas pasir-putih.. Setidaknya melihat hamparan air dan langit ini menjadikan hatinya tenang. Setidaknya bisik ombak dan angin ini menjadikannya tentram. Setidaknya di pantai yang sepi ini ia bisa menghembuskan napas perlahan dan tak perlu khawatir barangkali ada satu atau dua tetes yang jatuh. Ditariknya lagi satu napas yang dalam dan perlahan lalu bersama dengan karbon dioksida segenap beban itu luntur perlahan. Habis? Tidak. Tentu tidak. Namun setidaknya ia lega, meski sedikit.. Sungguh meski sedikit..

Ia tidak tahu, atau mungkin tahu namun tidak berani bilang. Bahkan hanya kepada dirinya sendiri ia tidak berani. Bahwa secara sadar ia memendam rasa. Rasa yang manis. Rasa yang.. membahagiakan. Namun sebagaimana jelasnya rasa itu membuatnya bahagia, sejelas itu pula ia mengerti bahwa sumber kebahagiaan itu sangat amat jauh adanya, tersentuh tapi jauh.. Dan entah apakah ia juga merupakan sumber kebahagiaan dari sumber kebahagiaannya itu.

Teman.

Hanya teman.

Temankah itu yang bisa membuat rasa sebegini manis hadir? Temankah yang bisa membikin cemburu?

Langkah-langkahnya menggelayut perlahan, perlahan, lalu berhenti di bawah sebatang pohon kelapa. Nyiurnya melambai-lambai pelan penuh dengan kemengertian akan perasaannya saat ini.
Ia duduk perlahan. Rok putihnya menyapu pasir-pasir yang juga putih. 
Diselanya lagi napas ringan. Ada rasa pegal di leher belakang. Ia tahu, sungguh tahu, pegal ini adalah manifestasi beban pikiran. Ia tahu, sungguh tahu, pegal ini akan hilang bila beban itu terangkat. Beban itu terangkat apabila sesuatu telah dibicarakan namun.. Entah kapan sesuatu itu akan dibicarakan. Akankah ia bicara?

Komentar

Postingan Populer