kuanalogikan hati ini sebagai ruang pertemuan kita. pertemuan yang sanga intens sehingga aku hapal mati terhadap ruangan ini; wanginya, bentuknya, sekatnya, debunya, dari sudut mana cahaya paling indah terpantul, atau dari sebelah mana wajahmu paling damai kurekam. aku juga yang pegang kuncinya. aku juga yang membersihkannya. tapi sejak kita sepakat untuk tidak bermain-main di sana lagi, perlahan aku juga mengambil keputusan untuk tidak lagi sering-sering membukanya bahkan meski sekedar duduk-duduk disana atau sekedar membuka pintu agar terjadi pertukaran udara. aku memutuskan meninggalkan kuncinya menggantung disana, di pintu itu, pintu yang sudah terkunci itu. aku masih saja berpikir barangkali suatu hari kau akan kembali, dan dnegan melihat kunci menggantung disana kau tidak akan pergi lagi, dan ya, meskipun kemungkinan itu sangat kecil sekali tapi tidak masalah kan. apapun bisa terjadi.

tapi aku juga memutuskan pergi. menyibukkan diri. bertemu banyak hati. mendeteksi banyak getar. meski entah apa yang kucari sebenarnya. meski entah apa yang kuingin sesungguhnya. tapi aku sungguh jauh dari bodoh untuk menyadari bahwa pergi adalah satu-satunya cara untuk bertahan hidup. toh apabila suatu hari seseorang menemukan ruang itu, menggerakkan kuncinya yang berdebu, dan membuka pintunya, otomatis aku akan tahu, dan akan segera kembali kesana lebih cepat dari siapapun juga. jadi aku tidak khawatir pergi sejauh apapun. yang kukhawatirkan adalah aku belum benar-benar pernah berani untuk pergi jauh.

entah kapan keberanian itu akan muncul. mungkin suatu hari ketika aku sudah tidak punya pilihan lagi,, karena tiba-tiba kuncinya telah dicabut, dan ruangannya dibakar menjadi abu mati.

Komentar

Postingan Populer