yang kurasakan kepadamu adalah perasaan tidak sampai yang entah. kadang aku heran pada cara Allah mengajarkanku tentang perasaan. aku merasa kita dipertemukan beberapa kali melalui pintu-pintu, namun semesta itu sendiri tidak pernah mengizinkan kita masuk dalam ruang yang sama. kita lalu ngobrol di teras, dengan kedua kakimu diselonjorkan dan aku memilih menekuknya saja agar bisa meletakkan pipiku kepada lutut di balik rok hitam. kita ngobrol tentang seberapa jauh aku ingin meraihmu dan seberapa jauh kau ingin meraihku, dalam jarak yang sangat dekat hingga aku bisa melihat lesung di pipimu yang lelah, namun tak juga kita temukan kesimpulan bahwa kita sudah saling menemukan dan ditemukan. melihatmu adalah melihat harapan, dan aku menyadari matamu melihatku sebagai sebuah rumah yang selama ini dicari untuk pulang. tapi mengapa aku merasa kita masih belum menemukan titik saling menemukan dan ditemukan? kamu bilang sebenarnya semua terserah padaku. meskipun kamu bilang kamu ga mau tau, tapi aku tau kamu mengerti bahwa aku sedang tidak dalam keadaan terbaik untuk menyebutkan ya dan tidak. aku tau kamu menghargai ketetapanku akan hal ini karena aku tau kamu sedang menilaiku jika saja apa yang kuhadapi dengannya berbalik peran menjadi diriku denganmu.

aku mengumpamakan dirimu seperti satu kali bernapas. kau hadir ketika aku menarik napas, namun sampai kau pergi belum juga dapat kuhembuskan karbon dioksida dari saluran pernapasanku. sampai kau pergi aku tidak menemukan kelegaan apapun. aku tidak menemukan kesimpulan. aku tidak menemukan kemampuan untuk bicara ya atau tidak. mungkin juga karenanya aku jadi yakin kalau kamu akan kembali lagi, seperti kemarin, berjalan dari pintu otomatis itu, tersenyum dengan wajah agak mengantuk, dan menantapku dengan tatapan yang itu,

satu yang kurasakan adalah bahwa ini belum selesai,

Komentar

Postingan Populer