Di Tepi Danau

Kubayangkan sebuah pemandangan serba putih dan biru pucat yang tampak muram terbentang di hadapanku. Ada danau nyaris beku dengan dua manusia berdiri di tepiannya, dekat namun berjarak. Pandanganku teralihkan kepada pohon-pohon pinus di seberang danau yang bisu, sama bisunya seperti dua orang yang berdiri bersisian namun tak membicarakan sepatah katapun. Pohon-pohon pinus yang juga berjarak, tumbuh alami begitu rapi seolah ada yang mengatur mereka untuk berdiri di tempat mereka tegak saat ini, tampak semakin jauh semakin rimbun, semakin jauh semakin belantara, semakin jauh semakin gelap, menimbulkan gradasi antara coklat tua, hijau, hijau tua dan sedikit putih salju di sela-sela sudut dedaunan atau ranting jatuh, perpaduan warna yang menenangkan. Cahaya samar melesat menembus beberapa pinus di tepian danau, menarik bayangan kelabu di atas permukaan air hijau kebiru-biruan yang tenang. Sedikit angin kadang berhembus perlahan, menggerakkan permukaan yang bagai cermin hingga bayangan pinus-pinus mengabur sesaat dari pandangan sebelum akhirnya kembali tenang, kembali hening dalam kebekuan.

Aku menarik napas mencoba menyesap kedamaian dari udara dingin yang diciptakan khayalanku sendiri. Pandanganku kembali kepada sosok yang tampak paling kecil dan tidak berdaya dari sini; dua orang yang sedari tadi berdiri bersisian tanpa suara. Aku tau mereka bukannya bodoh, bukannya pula tidak kedinginan, bukan pula tidak tau apa yang dirasakan. Mereka merasakan hal yang sama. Saking dahsyatnya kesamaan itu mereka sampai membeku di dalam perasaannya sendiri-sendiri. Pernahkah kau mendengar bahwa perasaan yang membuncah terkadang malah mengundang begitu banyak kekhawatiran lalu menyebabkan orang menjadi tiba-tiba ragu dan mendadak jadi begitu bodoh dan penakut? Itulah mereka. Berdua di tepi danau tanpa sepatah katapun terucap. Masa yang paling mereka nantikan tetapi menjelma menjadi momen paling menakutkan saat benar-benar terjadi. Tak berdaya menghadapi perasaan sendiri yang begitu buncah, begitu bergemuruh, samasekali tak sebanding dengan ekspresi dingin yang mengalahkan dinginnya cuaca yang menusuk hingga ke tulang.

Aku gemas, tapi juga tak sanggup berbuat banyak. Kuperhatikan jemariku sendiri saat mengetiknya, bergetar, dan itulah yang terjadi pula pada jemari si perempuan. Bergetar, ia menggigil kedinginan. Dikeluarkannya dua pasang tangan yang sejak tadi bersembunyi di balik jaket beludru coklat dan didekatkan kepada bibirnya yang pucat. Ia mencoba mengeluarkan uap hangat dari dalam tubuhnya dengan mengeluarkan hah panjang dari mulut ke telapak tangan bergantian tetapi upaya tersebut tak memberikan banyak perubahan. Percuma. Dimasukkannya kembali kedua tangan lemah itu ke dalam jaket ketika seseorang di sampingnya, yang tanpa ia sadari sejak tadi memerhatikannya, bertanya pendek, "Dingin?". Ya tentu saja dingin! Dingin sampai menusuk ke tulang, dingin sampai bibirku pucat dan kering begini, dingin sampai-sampai aku ingin menghamburkan diri kepadamu, memelukmu yang tampak begitu hangat tapi kau daritadi hanya diam saja! Perempuan itu menjawab begitu nyaring sejadi-jadinya tetapi tak ada suara apapun yang terlewat dari leher sehingga dapat didengar oleh si lelaki. Di balik jantung hati yang berteriak ia masih membungkus jawaban hanya dengan memberikan satu anggukan pelan. Lelaki itu tak bicara apa-apa lagi sesudahnya tetapi hangat terasa nyata menjalar ke sepanjang tubuh si perempuan ketika ia melangkahkan kaki kepadanya, meniadakan jarak, mendekatkan tubuhnya kepada tubuh si perempuan hingga kulit lengan mereka hanya dibatasi lapisan kain pakaian masing-masing. Lelaki itu tak menyuruhnya melakukan apapun, tak juga mungkin meraih jemarinya atau barangkali memeluknya. Ia hanya mendekatkan diri dan seketika menjadikan si perempuan merasa memiliki tempat berlindung yang nyaman, tameng yang hangat dari rasa dingin. Lelaki itu masih hanya memandangi permukaan danau yang tenang sembari menundukkan wajahnya sedikit saat menempelkan lengan mereka agar lebih dekat lagi. Perempuan ini tidak tahu apa yang ada di dalam pikiran lelaki di sampingnya, ia hanya mengikuti nurani untuk mengeluarkan jemari kiri pucatnya perlahan dari dalam saku jaketnya dan memindahkan lima jari itu ke saku jaket kanan lelaki di sebelahnya. Tak ada suara apapun selain angin yang berhembus saat kedua tangan mereka bertaut, saling menemukan, saling menghangatkan, dan bertahan dalam keheningan saku jaket yang lembab. 

Aku menghela napas panjang dari kejauhan, memandangi permukaan kertas yang menjadi media penghubung antara aku dan dunia imaji yang tercipta di dalam kepala. Kupejamkan mata untuk sekali lagi memandang bayang-bayang hutan pinus yang sunyi, hamparan danau biru yang damai, dan sepasang manusia dengan senyum lega di bibir keduanya. Kutarik napas panjang dan terasa dingin menjalari saluran pernapasanku.

Komentar

Postingan Populer