Kopi Sahabat : Ruang Kecil dengan Cita-Cita Besar

Namanya Kopi Sahabat. Pertama kali saya dengar dari Mba Inne sekitar bulan Agustus di masa-masa akhir gelaran Kelas Inspirasi Balikpapan 4. Mba Inne merekomendasikan kami untuk main ke sana. Awalnya saya tidak tertarik. Pertama, karena tempat itu adalah kedai kopi dan saya bukanlah peminum kopi. Kedua karena nama kedainya, menurut saya, kelewat berani, Kopi Sahabat. Duh, bagi saya sahabat adalah sebuah istilah yang sangat sakral dan tidak bisa semudah itu digadang-gadang menjadi brand sebuah produk. Respon saya yang muncul pertama kali ketika membaca nama Kopi Sahabat kira-kira begini "walah, emang seberapa bersahabat sih yang punya kedai? Memangnya dia tipe orang yang bisa bersahabat dengan semua orang? Berani banget bikin nama kedai pakai sahabat-sahabat segala". Ya kira-kira begitu. Serius. Tapi jangan baca respon saya itu sebagai wujud kebencian atau meremehkan ya.. Jangan. Itu sebenarnya cuma sebentuk respon nyinyir sesaat, karena ya, buat saya pribadi istilah sahabat adalah sesuatu yang sangat amat sakral untuk diucapkan. Ga sembarangan. Sahabat itu, buat saya, punya kedudukan yang tinggi di antara istilah-istilah pertemanan. Dan demi kedudukan yang tinggi itulah makanya terbentuk respon yang sedemikian. Mungkin respon yang demikian tidak akan muncul jika nama kedainya Kopi Teman atau Kopi Kawan. Tapi tentu pemikiran ini tidak saya ungkapkan kepada siapapun saat itu. Hanya di dalam hati sambil lalu.

Waktu bergulir cepat, Mba Inne sesekali masih terus mempromosikan kedai kopi ini. Waktu itu sebelumnya saya sudah lebih dulu pergi ke satu kedai kopi yang lokasinya di wilayah Klandasan juga, Kopi Ogek namanya. Diajak Sisi kesana, dan ya tempatnya juga membuat betah (ada gorengan yang enak dan pas buat teman ngopi di kedai itu). Ketika teman-teman mulai meributkan Kopi Sahabat saya malah meributkan Kopi Ogek. Ayo ayo ke Kopi Ogek asik juga lho. Lagi-lagi berucap demikian tanpa pretensi apapun. Ya cuma pingin orang-orang ga terlalu meributkan Kopi Sahabat aja sih. Sampai belakangan saya mendapat info, Kopi Sahabat itu berkaitan dengan salah satu relawan KI, yang kok kebetulan saya suka sama dia, namanya Mba Wastiti. Okey, ini mulai menarik. Saya pun jadi mulai menaruh perhatian. Mudah menemukannya di instagram yang saat itu masih diprivate, oke deh follow. Dan waktu itu langsung di follow back, tapi permintaan follow saya ga di accept dong. Ya gimana mau lihaaat?? 

Baiklah mari berhusnudzon. Saat itu mungkin adminya lupa accept permintaan follow saya. Tapi malahan itu yang jadi poinnya. Saya semakin menaruh perhatian. Padahal belum kenal, tapi kok langsung follow balik. Yaaa mungkin sih adminnya follow juga tanpa pretensi, tapi kalau dari saya, saya melihat itu sebagai sikap rendah hati. Waktu terus bergulir, cerita berlanjut. Akhirnya satu per satu kawan sudah mulai berkunjung ke kedai Kopi Sahabat. Satu per satu testimoni saya dapat. Sampai ketika tiba lebaran idul adha, ketika teman-teman relawan bersilaturahmi ke rumah, ketika saya mendapati hampir semuanya sudah pergi ke sana kecuali saya, ketika testimoni mulai bermunculan, saya mulai sadar sepertinya ini bukan kedai kopi sembarangan. Di instagram teman-teman mulai mention dan nge-tag, ngajakin untuk ke kedai itu, bahkan admin Kopi Sahabatnya sendiri juga melakukan hal yang sama. Okeee saya makin pingin datang ke sana. 

Rencananya, saya akan ke Kopi Sahabat bulan Oktober 2016, sebagai hadiah ulang tahun. Saya hendak menghadiahi diri dengan memberi diri sendiri teman baru dan tempat bermain baru. Gitu sih maksudnya. Tapi tanpa direncanakan saya malah ke kedai itu bulan September 2016. Akhir September, tanggal 29 September 2016 tepatnya. 2 hari lebih cepat dari rencana. Bagaimana ceritanya bisa kesana? Nah, sore itu saya melakukan sosialisasi acara Ruang Aksara di radio Smart FM bersama Ayu. Lepas on air, Ayu memberitahu kalau dia sedang chatting dengan Mba Errie dan katanya Mba Errie sedang di kedai kopi kelandasan. Saya langsung tahu kalau kedai yang dimaksud adalah Kopi Sahabat. Karena kantor Smart FM itu di daerah Klandasan juga yaudah akhirnya kita nyusulin Mba Errie deh kesana. Padahal sih sebenarnya saya juga ga tau persis tempatnya dimana, tapi ya sudahlah ikutin feeling, lihat denah kedai sekilas, dan dengan pede nya banting setir motor ke arah pasar, diikuti Ayu di belakang. 

Lokasi Kopi Sahabat itu paling mudahnya cari dulu lapangan kosong bekas kebakaran di area pasar Klandasan yang biasa dijadikan parkiran mobil. Nah, sudah masuk ke lapangan kosong itu, parkirlah motor di pinggiran ruko. Dari ruko yang berjejer di tepi lapangan, lihatlah ruko kedua dari sebelah kiri (dari sebelah laut) nanti akan ketemu ruko tempat servis hp. Melongok sedikit ke dalam lorong pasar, tepat di belakang ruko tempat servis hp itu akan terlihat sebuah ruko yang ngejreng banget karena catnya full warna kuning. Itulah kedai Kopi Sahabat. 


Kunjungan pertama ke Kopi Sahabat saat itu kondisi kedai sudah ramai. Ada Mba Yusna, Mba Errie, Mba Atik dan kawan-kawan lainnya. Oleh Mba Yusna saya diperkenalkan dengan Mas Abi, owner sekaligus barista sekaligus kasir sekaligus teknisi sekaligus admin sosial media Kopi Sahabat (intinya semuanya haha). Suasana menghangat. Tetapi meski obrolan mengalir perhatian saya teralihkan oleh kondisi kedai itu sendiri. Mungkin karena ini adalah kehadiran pertama saya ke kedai ini. Jika saya deksripsikan dalam kata seperti ini kira-kira; 

Tempatnya tidak besar, mungkin hanya berukuran 1,5x4m atau sekitar itu. Ruko kecil itu terdiri dari dua sisi tembok tanpa jendela dan dua sisi lainnya adalah rolling door yang bisa full dibuka sampai atas. Orang bisa masuk ke ruangan itu dari dua arah. Ada meja yang diletakkan tepat memanjang di tengah ruangan. Kalau kita hadap ke laut, sisa ruang di sebelah kiri meja panjang itu diisi dengan bangku-bangku kubus yang dijajar tanpa jeda untuk tempat duduk pengunjung. Di sebelah kanan meja panjang itu Mas Abi menyusun kulkas, aneka peralatan perang untuk bikin kopi, juga ruang yang lebih lapang untuknya sendiri agar leluasa bergerak membuat pesanan kopi. Di dalam benak daerah itu aku kasih nama "wilayah kekuasaan Mas Abi". Mas Abi dengan cerdik mampu mengatasi tantangan ruangan sempit untuk memasukkan segenap keperluan perkopiannya dengan membuat rak-rak dinding sebagai tempat meletakkan toples-toples berisi bubuk kopi, cangkir, dan bahkan masih sempat membuat rak dinding khusus tempat buku dan majalah.  Di sebelah "wilayah kekuasaan Mas Abi" itu juga masih cukup diberi satu kursi panjang untuk pengunjung.  


 






Ruang yang terbatas "memaksa" setiap manusia di dalam kedai ini berinteraksi lebih dekat. Harus geser berbagi tempat duduk kalau ada yang mau masuk, duduk minim jarak dengan orang di sebelahnya, duduk hanya terpisah meja selebar +- 90 cm dengan orang di depannya. Ruang yang terbatas dan suasana pasar inilah yang kemudian malah "memaksa" setiap orang untuk bersikap lebih terbuka dan akrab. Aneh banget kalau duduk berhadapan tapi malah sibuk dengan hp masing-masing. Aneh banget kalau duduk bersebelahan tapi ga saling kenal. Dari kondisi yang demikian mau tidak mau suasana keakraban lebih mudah tercipta. Ditambah lagi pemilik kedai adalah orang yang enak diajak ngobrol tentang banyak hal. Diajak serius ayo, diajak becanda bisa jadi ngeselin banget. Diajak ngobrolin pemerintah laju, diajak ngobrolin seni nyambung banget. 






Bisa dikatakan seluruh aktivitas di ruangan itu berpusat di atas meja panjang bertaplak motif  kotak-kotak ini. Di atas meja ini lah Mas Abi meracik dan menyajikan kopi, menyalakan laptop hasil reparasi yang setia memutar lagu-lagu indie, ngecharge hp, naro cemilan, bikin origami, main scrabble, mewarnai, baca buku, bikin prakarya dan tentunya ngobrol.


 

Di meja ini lah obrolan-obrolan sederhana khas pasar sekaligus berkualitas khas idealisme anak muda bisa didapat. Di meja ini Mas Abi menularkan kegelisahannya kepada kami agar tidak melupakan pasar tradisional yang semakin terpinggirkan fungsinya oleh pasar modern. Dia memiliki visi yang jelas untuk membangkitkan lagi geliat pasar tradisional yang jika itu terjadi berarti membantu lapak-lapak lain untuk dapat bertahan hidup. Dimulai dari dia yang dengan berani membuka kedai di dalam sebuah pasar, meninggalkan pilihan-pilihan membuka ruko di lahan basah tongkrongan anak muda Balikpapan atau ruko strategis pinggir jalan. Dimulai dari dia yang dengan rendah hati membuka sebuah tempat persinggahan, menjadi rumah bagi kawan-kawan yang tak memiliki tujuan, menjadi sahabat yang menerima siapapun yang datang. 

Di meja inilah tertumpah gagasan, cerita-cerita yang telah terlampaui, pengalaman untuk dijadikan pelajaran, dan cita-cita yang akan diraih di hari depan. Di meja ini pula Mas Abi mencoba mengajak kawan-kawan muda untuk ambil bagian bagi pasar tradisional, dan mulai berbuah dengan adanya project baru yang dieksekusi dua kawan, Mba Yusna dan Mba Ine. Sebuah lapak buku bekas Balikpapan bertajuk PenadanBuku, menyewa dua ruko tepat di sebelah kedai Kopi Sahabat. 

Kedai ini kecil tetapi menampung cita-cita yang besar.



Satu hal yang kemudian nyambung juga diobrolin dengan Mas Abi adalah karena doi punya ketertarikan yang sama dalam berkesenian, meskipun beda genrenya; saya lebih suka seni sastra sementara Mas Abi adalah seorang perupa. Di sela-sela keasikannya meracik kopi, doi suka bikin-bikin gambar di berbagai media, mulai dari lepek tatakan cangkir, cangkir, sampai dinding kedainya sendiri.  









Gambar di atas adalah representasi wajah saya, hasil repro dari foto jepretan Mas Jamil di Pantai Melawai. Berada di sekitar orang-orang berbakat yang rendah hati seperti ini adalah anugerah tersendiri yang saya syukuri. Bukan hanya karena saya bisa belajar banyak dari mereka, tetapi juga karena saya akhirnya mendapat inspirasi untuk terus berbuat sesuatu. Dan kesamaan kami (saya dan Mas Abi) dalam minat akan berkesenian memberi kami inspirasi untuk mengeksekusi sebuah ide di pasar. Sebuah ide yang menurut saya cukup gila tapi sangat layak untuk dicoba. Mengapa gila? Karena ini benar-benar di luar kebiasaan saya, dan tentunya di luar kebiasaan pasar itu sendiri.
Tapi apa yang ga gila dari semua ini? Toh Mas Abi juga memulai semuanya dari kegilaannya sendiri kan?

Saya sendiri jujur ga menyangka, tahun ini beririsan hidup dengan kedai kopi sederhana di sebuah pasar tradisional. Tetapi lagi-lagi, saya bersyukur dengan pertemuan ini, dengan pertemanan kami, dengan semangat teman-teman untuk berbuat sesuatu. Dan dari minat yang sama akan beberapa hal, dari obrolan di atas meja kotak-kotak di sebuah kedai Kopi Sahabat, cita-cita lama yang tersimpan akhirnya dibagi juga. Mimpi-mimpi dibuka, ide-ide ditumpahkan. Kami saat ini sedang menyusun puzzle-puzzle agar mimpi-mimpi sederhana ini, semoga dapat mewujud nyata dalam waktu dekat.

Komentar

Postingan Populer