Anak Pasar

Namanya Memey. Kami berkenalan pertama kali saat persiapan acara Lorong Pasar #1. Saya yang kala itu duduk di sebuah kursi di tepi lorong melihat gadis kecil mendekat, tatapannya menjelajah ke sekitar dengan malu dan ragu, tetapi langkahnya perlahan mendekat dengan pasti ke kerumunan kami (saya dan kawan-kawan.) Hampir tidak ada yang memerhatikan kehadiran Memey saat itu karena kawan-kawan sibuk dengan aktivitasnya masing-masing, Yang saya ingat Abi, pemilik kedai Kopi Sahabat sempat melirik dengan sebelah matanya sembari tetap main gitar. Dia akan tampil membuka acara Lorong Pasar. Dan mungkin juga tidak ada yang terlalu mengacuhkan Memey karena Memey memang sudah biasa main di sekitar situ ya? Saya juga tidak tahu pasti. Tapi yang jelas melihat anak kecil begitu saya langsung tergerak untuk mendekat, ngajak ngobrol. 

Saya ambil kursi plastik dan menawarinya duduk di sebelah saya. Awalnya Memey tidak mau. Masih malu. Ok, gabisa diajak langsung, maka saya pun pura-pura cuek mengambil satu bungkus snack secara sembarangan milik teman-teman. Dengan santai saya makan snack itu sambil memerhatikan Abi dkk main musik. Terasa Memey mendekat. Akhirnya saya tawari, "mau?" Memey semakin dekat, "Nih" Saya masih menawari dengan cuek. Kalau mau ambil, kalau gak mau gapapa. Dan bungkusan snack itu dia ambil. Yes. "Duduk di sini nih" Saya sekali lagi menawarkan bangku plastik itu kepadanya. Ia pun mendekat sembari duduk di atas bangku yang masih belum kukuh posisinya. Saya bantu membenarkan posisi kursi itu sembari sengaja mendekatkannya dengan kursi saya. Kemudian Memey duduk di atasnya dan sejak saat itu mulaihlah pertemanan kami. 

Saya : Namanya siapa?
Memey : Memey
Saya : Kelas berapa?
Memey : Kelas dua
Saya : Setiap hari kesini?
Memey : Iya setiap pulang sekolah kesini

dan seterusnya obrolan kami berlanjut. Saya jadi tau Memey adalah anak pertama dari pasangan muda yang membuka kios servis gawai tepat bersebelahan dengan kedai Kopi Sahabat. Ibunda Memey, Mba siapa ya lupa lagi namanya, adalah seorang perempuan berkacamata dengan kerudung lebar yang memiliki suara melengking dan dengan logat jawa yang khas sangat akrab ngobrol dengan pengunjung kedai Kopi Sahabat. 

Di pasar klandasan inilah Memey menghabiskan hari-harinya. Pulang sekolah ia akan langsung ke pasar dan ikut orangtuanya pulang saat kios tutup sekitar pukul 8 atau 9 malam. Mungkin Memey sudah terbiasa melihat orang asing dan kehidupan di pasar, tetapi yang benar-benar dikenalnya ternyata hanya Om Abi di antara sekian banyak orang yang suka nongkrong di kedai. Akhirnya malam itu saya memberitahu Memey nama teman-teman satu per satu, Om Jamil, Tante Yusna, Tante Sari, Om Rijal, Om Bimo, Tante Rara. Entah ia mengingatnya atau tidak. Malam itu Memey menghabiskan malam minggunya bersama kami dengan menyimak kawan-kawan bermain musik, bernyanyi dan membaca puisi.

Nyatanya saya tidak selalu bertemu dengannya setiap kali berkunjung ke kedai. Mungkin dia sebenarnya ada, tapi saya aja yang gak lihat. Karena biasanya saya masuk ke kedai dari sebelah kiri sementara kios orangtua Memey ada di sebelah kanan kedai. Atau sebenarnya ya saya lihat aja sih siluet-siluet dan tawa anak kecil di kios sebelah, tapi saya bukan tipe yang suka kesana kemari. Saya lebih senang berdiam di kedai, ngobrol dengan teman-teman yang ada. 

Dan setelah sekian kunjungan kami ga bertegur sapa, hari minggu kemarin saat saya main ke kedai kami bertemu lagi. Kali ini ngobrol, karena Memey main ke kedai. Entah obrolannya gimana ya awalnya. Kalau ga salah saat itu saya sedang asik latihan jeprat jepret pakai kamera Mas Jamil. Memey memerhatikan  Akhirnya saya kasih lihat hasil jepretan saya dari kamera. Dan dia berujar lirih "mau coba". Awalnya saya takut memberikannya karena itu kan bukan kamera saya. Saya takut anak sekecil Memey akan merusak kamera mahal. Tapi biarlah dicoba. 

Saya mengajak dia ke kedai Pena dan Buku, menyuruh dia dan adiknya berpose lalu memotretnya. Setelah itu saya kasih kamera itu ke dia, mengajarkannya cara menekan shutter kamera. Ckrik! Kalau tidak salah object pertama Memey adalah Kakim yang sedang mengambil buku di rak. Setelah saya rasa cukup saya pun bilang " udah yaa" sambil berlalu ke kedai kopi sahabat. Ternyata eh ternyata Memey ngikutin. Dia duduk di kursi di seberang saya, memerhatikan saya, dan ketika saya akhirnya noleh ke dia, dia memasang wajah kanak-kanak penuh harap dan jenaka "mau coba". Ah nyerah. Kamera itu saya serahkan ke dia. Tapi sekarang di bawah pengawasan Mas Vicky yang duduk di sebelahnya. 

Mas Vicky sambil makan mi kuah mengarahkan Memey cara mengambil foto. Karena Mas Vicky memang fotografer tentu lebih mudah bagi Memey menerima arahannya daripada dari saya yang fotografer abal-abal. Maka mulailah lagi Memey membidik dan mengabadikan momen dengan jemari kecilnya. Ckrik Ckrik terdengar berkali-kali. Dia noleh ke sana kemari mengambil momen apa saja yang menurutnya menarik, sambil tetap dalam posisi duduk di ruang kedai yang terbatas. Kami mengawasi Memey melakukan itu semua dan sejujurnya saya akui ia terlihat sangat cantik saat melakukan aktivitas fotografi itu. Dia yang kecil dengan kamera yang besarnya hampir sama dengan besar kepalanya. Sesekali kami melihat hasil jepretannya dan wow hasilnya bagus-bagus untuk anak sesusia dia. Terlihat Memey sangat senang malam itu karena mendapat pengalaman baru, dan mungkin juga karena malam itu ia menemukan bakatnya yang terpendam. 

hasil jepretan Memey, object yang malam itu duduk di depannya


Kejadian itu kembali membukakan pemahaman saya, bahwa masa anak-anak adalah masa yang sangat penting dan rawan dalam kehidupan manusia. Masa anak-anak adalah masa yang putih dan polos kemudian datanglah pengalaman-pengalaman hidup dan orang-orang yang mewarnai kepolosan itu. Jika dia mendapat warna yang baik maka baiklah dia. Jika dia mendapat warna yang buruk jangan salahkan saat warna itulah yang kemudian tampak dominan atas dirinya.

Setiap anak, dimanapun ia berada tetaplah seorang anak yang seharusnya memiliki hak yang sama atas pendidikan, keceriaan kanak-kanak, dan kesempatan untuk menemukan bakat-bakat positif yang terpendam dalam dirinya. Setiap anak, dimanapun ia berada tetaplah seorang anak yang akan memberi output baik jika melihat dan mencontoh hal baik begitu juga sebaliknya. Anak-anak tetaplah anak-anak, menjadi seperti apa dia adalah tanggung jawab para dewasa di sekitarnya sampai nanti ketika ia akhirnya berada di titik kedewasaan dan cukup usia untuk mengambil keputusan-keputusan atas dirinya sendiri. 

Anak-anak pasar, seperti Memey dan adik-adiknya memiliki hak yang sama untuk menerima pengetahuan seluas-luasnya, membaca buku, mengenal dunia, mengenal musik, mencoba hal-hal baru, dan bahkan memiliki mimpi. Kita tidak pernah tahu, mungkin saja Memey kelak menjadi seorang fotografer handal atau memiliki profesi apapun yang bermanfaat untuk orang banyak. Mungkin malam itu, kegiatan jeprat jepret itu adalah hal biasa di tengah lorong pasar, tapi sungguh tidak biasa untuk perjalanan hidup seorang anak pasar kelas dua sekolah dasar bernama Memey. Kenangan itu pasti akan membekas di dalam hatinya. Kesempatan kecil dan manis itu pasti melekat dalam memorinya. Dan hal-hal seperti itulah yang seharusnya sering dilakukan orang-orang dewasa, memberi dan membuka kesempatan anak-anak untuk menemukan bakat dan optimisme dalam hidupnya. Karena semua anak pasti istimewa. Ah sayang sekali saya ternyata tidak punya foto Memey, nanti kapan-kapan ya, dear reader :)




Komentar

Postingan Populer