Oh Sosial Oh Media

Pernah ga kamu ada di momen ketika membuka sosial media bukanlah sesuatu yang menyenangkan? Melihat buku harian manusia yang dipublikasi sebegitu luas dan terbuka kadang membuatmu merasa sangat amat "penuh". Berita baik dan buruk, orang-orang yang pamer kebahagiaan dan kegalauan, foto-foto selfie dengan caption ga nyambung, berbagai aktivitas kerelawan yang bertebaran bak penjual salome di lapangan merdeka, teman-teman yang mulai berbisnis oriflame, tupperware, jafra, kaos, gamis, kerudung, sampai curhat-curhat soal keluarga, pasangan, debat politik, dan well yeah, agama. 

Setiap orang membawa kebenarannya masing-masing. Setiap orang menghias sosial medianya masing-masing. Setiap orang berproses dengan level proses yang pasti berbeda dan tanpa ada yang menyaringnya semua lebur di dalam satu timeline yang bisa kapan saja dibaca di dalam satu benda kecil bernama gawai. Kadang semua informasi yang tumpah ruah dan begitu mudah didapat ini memberi efek-efek tertentu pada diri sendiri. Bisa senang, sedih, cemburu, iri, kasihan, kesal, terinspirasi, kagum, dan perasaan-perasaan lainnya. Tapi celakanya semua perasaan itu muncul dan hadir dalam waktu yang sangat berdekatan, ngublek-ngublek di kepala, dan malah bikin penuh bahkan mual. Tambah menyebalkan kalau bertepatan dengan jadwal pms (pra menstruasi syndrom).

Di sosial media, status biasa orang yang juga biasa-biasa saja tapi benar-benar menulisnya dengan sadar karena memahami perkara yang dibagi bisa saja tampak kalah bijak oleh orang yang sekedar ambil caption dari google tapi yang penting followernya lebih banyak atau kualitas kameranya lebih jernih atau pose fotonya lebih dramatis atau kerlingan matanya lebih manis atau kumisnya lebih klimis atau entahlah.

Tentu kita semua sudah sama-sama tau betapa sosial media adalah panggung yang sangat gemerlap bertaburan lampu sorot untuk pencitraan produk apapun. Tapi meski sama-sama tau kadang kita sama-sama khilaf menghakimi orang lain sekedar dari lihat akun sosial media. Kita suka khilaf menilai orang pintar cuma karena dia pakai kemeja batik, celana kain dan pantofel di sebuah ruangan yang cahayanya terang dan lantainya tampak mengkilap. Kita suka khilaf menilai orang biasa saja cuma karena dia suka pakai kaos yang lusuh karena berkali-kali dipakai, celana yang itu-itu saja, dan sendal jepit. Kita suka khilaf menilai orang soleh hanya dari senyumnya yang manis dengan jenggot tipis-tipis dan sorban yang sangat khas masjid itu. Kita suka khilaf menilai orang nakal hanya karena dia sedang foto bersama temannya yang kebetulan suka minum bir dan doyan ngerokok juga lebih suka musik reggae daripada pop melayu. Kita. Maka saya pun juga termasuk di dalamnya. Di dalam kumpulan orang-orang yang sangat mudah menjustifikasi, menilai, memberi cap, bahkan menghakimi. 

Maka benarlah sampai saat ini salah satu hal yang paling paling paling sulit untuk dipraktikkan adalah kata-kata tua milik seorang penulis Indonesia yang bunyinya, "seorang terpelajar harus sudah adil sejak dalam pikiran". Ya, Pramoedya Ananta Toer namanya. Demikian menurut Pram kalau seseorang betul-betul terpelajar harusnya sudah berperilaku adil bahkan sejak dalam pikiran. Maaf jika salah tafsir, namun dari pemikiran dangkal perempuan muda ini, setiap kali mengenang kalimat itu yang kemudian muncul di dalam benak adalah bahwa kita tidak boleh sembarang menilai orang lain bahkan sejak dalam pikiran. 

Ya, sejak dalam pikiran kita sudah harus adil dalam menilai, memperlakukan, menetapkan untuk sependapat ataupun tidak sependapat. Hal yang bisa direfleksikan ke dalam aktivitas bersosial media, sejak dalam pikiran harusnya kita selalu adil berpikir bahwa apa yang terlihat di sosial media tidak selalu merepresentasikan kehidupan nyata. Dalam pikiran kita harus sudah adil berpikir bahwa setiap orang sedang menjalani proses pendewasaannya masing-masing yang mana proses pendewasaan itupun akan berlangsung terus menerus sepanjang hidup. Dalam pikiran kita sudah harus bisa adil berpikir bahwa yang terpenting tetaplah mengurus diri sendiri dan bukannya mengurus hidup orang lain. Dalam pikiran kita harus adil berpikir bahwa tidak ada saringan yang benar-benar pakem di dunia maya selain diri kita sendiri. Maka berhentilah baper saat melihat timeline dengan segala warna yang ditawarkannya.  Karena jika orang yang terpelajar telah adil dalam pikiran seharusnya hal itu termanifestasikan pula dalam perbuatan. Dan orang yang terpelajar tau bahwa terus-terusan main gawai untuk menyimak hidup orang lain tetapi tidak fokus kepada pemberdayaan diri bukanlah sebuah wujudn keadilan untuk diri sendiri. Maka kurangilah membuka layar sosial media orang lain dan kembalilah fokus dengan pencapaian diri. #reallynotetomyself 

Komentar

Postingan Populer