Pesawat Terbang



Pesawat terbang merupakan transportasi yang tidak asing bagi saya. Penerbangan pertama saya adalah saat saya berusia 4 tahun. Waktu itu Ambar kecil terbang dengan almarhum pakde dengan jalur penerbangan Balikpapan-Jogjakarta. Meski demikian ingatan saya tentang pesawat saat dini tidaklah begitu jernih. Ingatan paling jauh yang jelas tergambar di memori tentang naik pesawat dimulai saat kelas 5 Sd. Penerbangan bersama bapak dan juga almarhum pakde. Sayangnya ingatan terjauh dan krusial itu tidak menyimpan kenangan manis. 

Saya masih ingat pesawat yang saat itu mengantarkan kami pulang dari Jogjakarta menuju Balikpapan (ya, saya cukup sering juga ternyata terbang BPN-YK) memutar beberapa kali di langit di atas bandara Sepinggan. Saya belum paham alasannya saat itu tapi pokoknya yang saya tahu sensasi yang muncul dari pesawat yang descending lama itu ga enak banget. Manuvernya yang bisa mendadak berbelok ataupun tiba-tiba naik-turun membuat saya mual. Benar-benar mual. Entah berapa lama persisnya waktu yang terasa berjam-jam yang dihabiskan pesawat yang tak kunjung landing itu, yang jelas saat pesawat akhirnya mendarat di permukaan bumi dan berhenti di Apron, saat itulah saya mengeluarkan seluruh isi perut ke dalam kantong kresek. Muntah pertama kali di pesawat. Bahkan saat menuliskan ini pun saya masih ingat banget sensasi pusing gliyeng yang gak enak banget itu. Padahal sudah berlalu belasan tahun. Sejak itu saya memiliki trauma pada pesawat, terutama saat landing.

Trauma itu berlanjut bertahun-tahun. Naik pesawat selalu menjadi hal yang menyebalkan. Ketika SMP dan SMA saya sempat "ketergantungan" dengan obat anti mabuk perjalanan merk antimo. Pokoknya minum antimo, dan ah ya juga ritual mengambil sejumput tembakau rokok untuk disumpal ke lubang pusar dan ditutup koyo. Kalau sudah melakukan dua ritual itu perjalanan pasti aman. Tapi ketika masuk masa perkuliahan saya memutuskan untuk tidak minum obat apapun dan menempelkan apapun di tubuh. Pusing atau apapun itu ya harus dihadapi. 

Bertahun-tahun saya benci pesawat. Benci semua proses terbangnya baik saat mulai take off, saat melayang-layang di angkasa selama 1,5 jam dan terutama saat landing. Bertahun-tahun berkali-kali pulang pergi Balikpapan-Jawa naik pesawat tak kunjung memberi saya solusi untuk merasakan kenyamanan terbang. Sudah dicoba mendengarkan musik atau "melihat-lihat pemandangan di luar" melalui jendela kaca tapi tetap rasanya ga enak. Makan pun juga khawatir muntah. Hal yang membuat saya sebal juga karena sebenarnya setiap terbang saya punya waktu 1,5 jam bebas melakukan apapun tapi tidak bisa melakukan hal yang paling saya suka : membaca, karena pasti langsung mual setiap kali melihat deretan kata-kata. Belum termasuk telinga berdengung, ac terlalu dingin, ruang antara tempat duduk yang terasa terlalu sempit, ataupun sandaran kursi yang tidak pas menyangga leher karena tubuh terlalu pendek untuk standar kursi-kursi di pesawat, ya pokoknya ga enak bangetlah. Saking ga enaknya saya meletakkan pesawat di urutan terakhir dalam daftar kendaraan yang pernah saya tumpangi berdasarkan tingkat kenyamanan menurut saya pribadi, kalah jika dibandingkan bus antar kota yang menggila di jalur pantura, kereta api, dan kapal.


Satu-satunya yang aman saya lakukan di pesawat hanyalah tidur, Itulah sebabnya saya selalu menyibukkan diri melakukan ini itu sebelum terbang, atau packing di jam-jam mepet. Tujuannya agar saat di pesawat merasa kelelahan dan lebih mudah tertidur. Semakin cepat tidur semakin baik. Semakin lama bangun semakin bagus. Begitupun saat landing. Setiap kali pilot mengucapkan suara menggaung yang dihubungkan dengan pengeras suara lalu kemudian lampu-lampu dipadamkan, saat itu lah saya selalu memejamkan mata, menopang kepala dengan kepalan tangan seperti orang pusing parah (padahal sebenarnya tidak), berdizikir dan berdoa semoga pesawat sesegera mungkin landing dan plis jangan sampai muntah. Malu dong. Masa dah gede masih muntah aja. 

Momen yang paling saya rindukan kemudian adalah ketika roda-roda pesawat terdengar dan terasa keluar dari penutupnya, lalu tak lama kemudian menyentuh permukaan bumi dan menimbulkan goncangan kecil pada badan pesawat, membuat sensasi seolah-olah kami sedang naik semacam mobil 4WD dan sedang menghadapi medan jalan dengan batu-batu besar. Laju roda-roda besar pesawat yang menggilas jalur landasan jauh lebih menyenangkan daripada pesawat yang terombang ambing di lautan langit tanpa ujung. Jika sudah benar-benar landing dan roda-roda itu mulai menurunkan kecepatan barulah saya berani membuka mata karena sudah yakin kemungkinan mual sangat kecil bahkan nol.

Nah, dalam rentang satu pekan ini saya berkesempatan dua kali naik pesawat. Berangkat hari Kamis dan pulang hari Senin. Tapi rasanya ada yang berbeda dari dua penerbangan saya yang paling terakhir ini. 1, saya ga mual samasekali. 2. saya merasa sangat excited naik pesawat tanpa kepikiran bakal mual atau yang lainnya 3. saya tidak memejamkan mata atau menopang kepala seperti orang sakit saat pesawat mendarat. Apa yang saya lakukan kemudian? Saya memotret. Dalam perjalanan terakhir pekan lalu saya sengaja pinjam kamera DSLR milik Mas Jamil (Tujuan perjalanan saya memang benar-benar murni liburan dan saya tau akan ada banyak sekali objek yang sayang jika tidak diabadikan). Yang saya tidak tahu ternyata memotret di pesawat bisa membantu saya mengalihkan diri dari perasaan mual, khawatir, tidak nyaman dengan tempat duduk dan semua perasaan-perasaan negatif lainnya. 

Sebenarnya sih kalau urusan foto-foto di pesawat saya juga sudah biasa melakukannya dengan kamera gawai. Tapi ternyata memotret dengan gawai dan kamera "beneran" memang beda sensasinya. Kalau memotret dengan gawai saya tentu hanya bisa pasrah karena tidak bisa zoom objek terlalu jauh. Selain itu juga fokus pandangan masih kemana-mana (melihat kursi dan jendela) karena kalau foto dengan gawai kan hanya menjepret dengan melihat layar gawai. Tapi kalau pakai kamera DSLR mata benar-benar fokus melihat objek di balik viewfinder eyepiece dan tidak melihat ke yang lain-lain. Itu analisa cetek asal-asalan aja sih hahaha. Nah selain itu didorong pula dengan kesadaran bahwa gambar yang diambil adalah momen langka karena pesawat terus saja bergerak mencari posisi yang tepat untuk mendarat sehingga memberi motivasi lebih untuk fokus mengambil gambar. Terlebih lagi karena saya sebenarnya tidak punya jam terbang tinggi menggunakan kamera DSLR, sehingga rasanya berkejaran menangkap momen sambil terus belajar menggunakan kamera agar mendapatkan hasil yang baik. Tidak terasa sebenarnya saya sedang berproses, belajar. Dan proses itu membantu saya lupa pada rasa mual dan tidak nyaman dalam penerbangan. 


Yah, ga sebagus hasil para pro tentunya, tapi saya cukup puas. Utamanya cukup senang karena akhirnya bisa membuktikan pada diri ternyata bisa melampaui penerbangan tanpa mual samasekali, meski saat proses landing di Jogjakarta saya masih saja melakukan kebiasaan lama dengan memejamkan mata, tapi sudah ga menopangkan kepala kayak orang sakit lagi. Nah, yang seru banget malah waktu pulang ke Balikpapan. Suasana malam hari memaksa saya lebih banyak melakukan percobaan-percobaan karena banyak gambar yang diambil hasilnya blur. Dan saking asyiknya tanpa saya sadari saya benar-benar mengabaikan perasaan tidak nyaman yang biasanya terjadi alih-alih benar-benar full fokus dengan kamera sejak daratan Balikpapan mulai terlihat sampai pesawat bermanuver turun ke landasan bandara. 

Saya masih saja asyik belajar mengambil gambar dengan kamera dan tersentak tersadar melihat perumahan warga yang tampak semakin dekat, semakin besar. Tampak bangunan-bangunan di dalam lingkungan bandara mulai terlihat mendekat, membesar, tampak jalan sangat miring, bumi di luar semua miring, sampai akhirnya pesawat bergerak semakin dekat dengan daratan, jalanan mulai tampak datar, gedung-gedung berpendar penuh cahaya, roda pesawat terasa membuka dan keluar dari tutupnya, suara desingnya yang khas membuat saya bergetar. Saya tak melepaskan pandangan dari kaca jendela di sebelah kanan saya sampai akhirnya roda-roda besar pesawat menyentuh bumi, menggilas badan aspal landasan bandara, dan mesin pesawat menggerung keras bersamaan badan pesawat bergoncang sesaat, membuat sensasi seolah-olah kami sedang naik semacam mobil 4WD dan sedang menghadapi medan jalan dengan batu-batu besar lalu berjalan lurus dengan kecepat tinggi menuju Apron. 

Saya melihat semua proses pendaratan itu dengan terpana memandang kaca jendela. Biasa memang, semua tampak biasa saja. Tidak ada yang istimewa dari pendaratan malam itu. Tapi tidak di dalam hati saya yang bergemuruh. Setelah puluhan kali merasakan naik pesawat, penerbangan tidak pernah semenyenangkan dan semudah ini rasanya. Puji syukur akhirnya saya dapat titik baliknya sekarang. Terima kasih Mas Jamil yang telah meminjamkan kameranya yang bukan hanya berfungsi sebagai perekam momen penting perjalanan, tetapi ternyata juga terapi untuk sebuah ketidaknyamanan bertahun-tahun lamanya. 


Komentar

Postingan Populer