Semesta Kata (3)

Sembari terus menjalankan project pribadi yang sudah berjalan baik selama satu tahun ini, saya terus memikirkan Semesta Kata itu sendiri. Saya mencoba memetakan kegelisahan saya tentang dunia literasi di Kota Balikpapan. Mencoba mencari apa permasalahan yang terjadi di kota ini sehingga minat baca masih rendah? Saya menemukan beberapa masalah dan salah satunya adalah kenyataan bahwa buku masihlah sebuah komoditas yang sangat mahal di Kota Balikpapan.

Harus diakui, perkembangan literasi Balikpapan sangat rendah jika dibandingkan dengan kota-kota maju di luar pulau Jawa lainnya. Ambillah contohnya, Makassar. Bagaimana tidak? Ternyata akses mencapai buku di kota ini masih terhitung sulit. Toko buku yang mumpuni hanya satu yaitu Gramedia padahal mall nya ada banyak. Berbagai macam brand nasional dan internasional mulai dari baju, sepatu, kerudung, makanan, parfum, outdoor activity, perhiasan berbarengan menginvasi Balikpapan. Tapi tidak dengan toko buku. Toga Mas saja kita ga punya!. Gramedianya lagi-lagi, cuma satu. Kharisma mati suri. Periplus cuma ada di bandara. Books and Beyond, duh itu mahal banget. Dari ruang publiknya, perpustakaan umum juga belum mampu mengundang animo masyarakat meski harus diapresiasi upayanya. Perpustakaan Bank Indonesia, hmm... ada yang tau ga? 

Cafe-cafe sejauh ini hanya dua yang sepengetahuan saya memiliki koleksi buku; Lamin Pohon yang sekarang sudah tutup dan BookCafe yang musiknya tidak cozy untuk membaca. Setelah semuanya akhirnya tempat terbaik untuk mendapatkan buku hanya satu; Gramedia. Hal ini pun membuat Gramedia menjadi raksasa yang memonopoli dunia perbukuan di Balikpapan.  Saya pernah ngobrol sendiri dengan salah satu karyawannya dan benar-benar geleng kepala tak habis pikir tentang bagaimana mereka menetapkan harga sebuah buku. Yap, buku di Balikpapan harganya muahal banget. Dan toko pun belum tentu lengkap. Seperti misalnya, genre yang saya minati, sastra, toko tak memberikan banyak pilihan. Padahal minat membaca dan llifestyle belanja buku di antara warga Balikpapan sendiri bukannya ga ada lho. Saya kenal cukup banyak teman yang menjadi konsumen aktif buku-buku fiksi, saya pun kenal banyak orang yang memiliki perpustakaan pribadi di rumahnya masing-masing. Mereka akhirnya memilih untuk belanja buku online. Beli di jawa, menunggu 3-4 hari atau paling lama seminggu, bahkan meski harus bayar ongkir harga buku bisa 50% lebih murah daripada di toko. 

Hal ini yang kemudian menggelitik saya secara pribadi. Saya ingin Balikpapan punya toko buku lain yang benar-benar hidup selain Gramedia. Saya ingin membuktikan bahwa menemukan buku murah ga murahan di Kota Balikpapan itu sesuatu yang sangat mungkin. Saya memimpikan buku menjadi barang terjangkau dengan begitu orang lebih mudah tertarik untuk membeli karena faktor mahal sudah terhapuskan. Saya memimpikan remaja-remaja menyisihkan uang jajannya untuk membeli buku. Saya memimpikan kebutuhan belanja buku sama besarnya seperti belanja baju. Saya memimpikan sebuah bangunan yang berisi banyak buku dan hidup dengan aktivitas-aktivitas literasi. Saya memimpikan penulis-penulis negeri ini sibuk bolak balik bandara Sepinggan untuk menghadiri kelas-kelas literasi. Saya memimpikan hal itu. 

Saya sempat takut dengan keinginan saya sendiri, tapi setiap kali berkunjung ke kota-kota besar di Pulau Jawa keinginan itu menguat lagi. Saya sempat ragu apakah bisa hal-hal seperti itu terjadi di Balikpapan, tapi saya jauh lebih menyadari lagi bahwa semua itu betul-betul tidak akan terjadi jika tidak ada yang memulainya. Beberapa tahun yang lalu saya pernah membaca artikel seorang teman yang saya anggap keren sekali, saya membaca tulisannya tentang mimpinya memiliki toko buku sekaligus coffe shop. Hal macam ini juga pernah jadi materi obrolan dengan beberapa teman komunitas di Balikpapan. Tapi waktu itu saya belum tergerak untuk melakukan apapun. Sampai akhirnya di tahun 2016 ketika saya sendiri mengalami kesulitan yang sama untuk sekedar mendapatkan buku yang harganya masuk akal, saya mulai memikirkan semua ini. Saya pun bertanya kepada diri sendiri, kenapa gak kamu aja yang memulainya, mbar?

Setelah hari itu pikiran saya semakin cenderung kesana. Saya mulai menyampaikan pemikiran-pemikiran itu kepada beberapa orang terdekat dan mereka semua merespon positif pemikiran saya. Saya mendapat dukungan. Saya mulai mencari-cari kontak reseller buku, seorang teman mulai menghubungkan saya dengan salah satu toko buku online yang sangat ramai di Jogja, dan seorang teman lain memberi dukungan dengan membuatkan saya logo Semesta Kata. Tapi saya masih juga ragu. Saya iseng mencari tau apa benar-benar tidak ada toko buku aktif selain Gramedia di kota ini? Saya coba search di instagram. Hasilnya? Yap, yang jual buku banyak, tapi rata-rata buku agama. Nah, ada satu toko buku online yang menjual buku-buku fiksi, baru satu tuh, @redbookstore namanya. Berarti potensi membuka toko buku di Balikpapan memang masih sangat besar. 

Saya mulai mencoba meyakinkan diri bahwa ini bisa dilakukan. Saya bukanlah tipe orang yang bisa merencanakan segala sesuatu dengan baik dan mencari nilai-nilai baik sebagai pembenaran dari apa yang saya lakukan agar saya merasa yakin. Saya adalah tipe orang yang jarang memiliki tujuan, tetapi satu kali saya memiliki tujuan dan memahami betul apa yang ingin saya capai, saat itulah saya siap menjalaninya dengan sungguh-sungguh dan kebanyakan tepat sasaran. Karena pembawaan itu, saya harus benar-benar paham apa yang saya inginkan sebelum memulainya. Dulu, saat kuliah saya berpikir bahwa berbisnis menjual/menyewakan buku adalah sesuatu yang menyalahi idealisme. Tapi kini pikiran saya sudah berkembang jauh, saya menyadari kota ini membutuhkan lebih banyak toko buku agar harga buku dapat bersaing dengan sehat. Kota ini membutuhkan lebih banyak toko buku agar penduduk memiliki lebih banyak pilihan. Saya memutuskan mengarahkan Semesta Kata menjadi sebuah toko buku karena menurut saya inilah salah satu hal yang dibutuhkan Kota Balikpapan. Saya menyadari dan tidak naif, dengan adanya Semesta Kata sebagai opsi baru dari toko buku di Balikpapan pasti tidak lantas membuat orang jadi semangat beli buku, tidak lantas bikin orang jadi banyak beli buku, tidak lantas minat baca meningkat banyak. Tidak. Saya tentu menyadari buku bukanlah komoditas yang laris manis dan mudah dijual seperti makanan atau pakaian. Saya meyadari perlu waktu yang lama untuk sebuah peningkatan minat baca, untuk membuat orang-orang gemar membeli buku dan membaca, untuk membuat Semesta Kata dikenal luas. Lha, dikasih buku gratis aja warga Balikpapan belum tentu senang baca kok. Tapi bukan kekhawatiran dan pikiran-pikiran negatif itu intinya. Poin intinya adalah harus ada yang memulainya dan saya memutuskan memulainya. Saya yakin banyak yang akan memperhitungkan Semesta Kata sebagai tempat membeli buku ke depannya. 

Saya percaya bukan saya saja yang memiliki mimpi membangun toko buku di kota tercinta ini. Pasti banyak juga yang merasakan kegelisahan yang sama seperti saya, atau bahkan lebih gelisah dari saya, Belakangan energi dan mimpi ini mulai tampak wujudnya dari upaya teman-teman dalam mengerjakan project pribadi mereka. Mba Inne dan Mba Yusna membuat Pena dan Buku, Mas Edy membuat Perpus Sosmed, dan Mba Yani membuat Hasanuddinbookholic. Hal ini tentunya sebuah fakta yang sangat menggembirakan untuk dunia literasi Balikpapan karena mereka-mereka inilah yang turut andil membuat buku menjadi barang yang jauh lebih terjangkau lagi di kota ini. Sama seperti mereka saya pun ingin memberikan pengabdian baru untuk kota ini. Sebuah pengabdian sekaligus langkah-langkah kecil untuk mewujudkan mimpi. Muluk? Anggap saja iya. Tapi semua yang telah tercapai saat ini dahulu pun tampak sangat muluk-muluk, bukan? Toh akhirnya tercapai juga. Mimpi milik siapa saja, tapi hanya dapat dijemput oleh yang bukan penakut. 


Komentar

Postingan Populer