kawan lama

Dalam pekan ini saya bertemu dengan seorang kawan lama. Cara bertemunya cukup unik, beberapa hari sebelumnya dia menghubungi saya via whatsapp, memesan satu buku di Semesta Kata. Dia menyebutkan namanya, dan berkata "bisa cod kan min?". Dikarenakan sejak awal dia memanggil saya min, saya mengira dia mengajak saya bercanda. Tentulah saya tahu kalau dia adalah dia. Nomornya saja masih saya simpan. Dan saya cukup yakin kalau dia juga tahu si admin adalah saya. Tapi kenapa dia memanggil saya min, bukannya mbar? Mau ngajak bercanda? Oke mari lanjutkan permainan ini. 

Selama beberapa hari bikin janji, sempat dia batalkan dan diundur karena ada keperluan mendadak katanya. Sempat juga berganti tempat bertemu beberapa kali dan akhirnya diputuskan bertemu di rumah saya. Saya share saja location rumah meskipun juga sudah tahu kalau dia tahu lokasi rumah saya. Dan semua percakapan itu bahasanya bener-bener ala penjual dan pembeli onlineshop haha. Akhirnya kami bertemu. Saya meringis-ringis nda jelas, antara kangen yang bertumpuk dan sungkan karena sudah sangat lama ga ketemu. Kondisinya juga sudah sama-sama gede jadi lebih kikuk nda bisa asal njawil-njawil seperti dulu kala. Di rumah juga sedang banyak orang yang pasti ngira kalau saya sedang diapeli sementara kita berdua tahu dia sudah punya kekasih yang saya juga kenal dengan kekasihnya. Tapi yasudahlah terserah orang-orang di rumah saya mau berpikir apa. Saya menyerahkan bingkisan buku yang dia pesan dan dia bilang, "kamu ga tahu ya, kalau itu aku?" 

saya : ya tahulah!
dia : tapi kok kamu kayak gatau, yaudah kulanjutin aja man min man min
saya : hahaha, iya gapapa kulanjutin aja sekalian
dia : tapi kamu tahu kan kalau itu aku? kan aku kasih tahu namaku
saya : nomormu aja masih kusimpan dodol, ya aku tahulah

Lalu obrolan berlanjut. Sayang sekali lokasinya ga begitu nyaman untuk ngobrol. Saya masih tidak bisa keluar-keluar sendiri pasca kecelakaan. Kami mulai menanyakan kabar masing-masing, menanyakan secara random-lompat-kilat tentang beberapa hal yang saling kami ketahui satu sama lain. Dulu, kami memang sering sharing banyak hal. Sudah sekitar dua tahun kami tidak melakukan itu. Saya cukup berhati-hati menanyakan beberapa hal tentangnya dan saya juga diapun melakukan hal yang sama, sampai akhirnya pertanyaan itu muncul "kamu ga mau ngelanjutin jadi bidan lagi?" 

Seketika saya jadi sadar lama sekali sudah tidak sharing secara empat mata dengan seseorang, live, tanpa bantuan alat komunikasi apapun, dan harus saya hadapi saat itu juga. Saya tak sanggup memberi banyak respon selain tertawa dan berkata "hmm, salah bang nanya kayak gitu, ceritanya panjang. kita lho udah lama ga ketemu". Seketika dia pun salah tingkah. Ya, sudah lama sekali kita ga ketemu dan tentu sudah banyak hal yang terjadi di antara kita. Pembicaraan yang mengalirnya tersendat-sendat itu juga akhirnya membuat dia membocorkan beberapa hal bahwa hidupnya pun penuh drama dalam beberapa waktu belakang ini. Ya, hidup siapa sih yang ga drama?  Kami sama-sama tahu, kami sama-sama saling ingin bercerita banyak hal. Memiliki teman yang seperti itu memang sangat dirindukan, bukan?

Obrolan yang sangat terbatas itu terputus karena persiapan adzan maghrib. Dia pamit diri hendak pulang dan juga hendak kembali ke kota tempat belajar esok pagi. Sayang sekali, liburannya dua bulan kami benar-benar tidak meluangkan waktu ngobrol. Antara dia yang menganggap saya terlalu sibuk dan sombong, dan saya yang menganggap dia terlalu banyak orang-orang yang lebih dekat untuk dikangenin. Saya mah apa? cuma teman yang lama ga ketemu. Ya, kadang persepsi-persepsi kita sendirilah yang akhirnya menjauhkan kita dari segala sesuatu. Kita terlalu sering berprasangka. 

**

Sepulangnya dia saya merenungkan kembali pertanyaan-pertanyaan singkatnya yang sangat menohok tadi. Mengapa saya ga jadi bidan? Mengapa saya ga kuliah lagi aja? Mau kemana setelah ini? Mau ngapain? Apa yang mau dikerjakan? Saya juga jadi merenung-renungkan jawaban saya sendiri. Saya bilang saya akan tetap di sini, berbakti pada ibu dan bapak dengan cara yang mereka mau dan mereka suka (dia paham karena tahu kalau saya anak perempuan terkecil di dalam keluarga). Lalu saya menjawab akan terus malnjutkan komunitas-komunitas, bervolunteer. Yang ketiga adalah saya ingin membesarkan Semesta Kata. Setelah merenungkan ketiga jawaban itu, saya sendiri menyadari pasti itu bukan jawaban yang memuaskan atau membanggakan. Seorang kawan lama pasti ingin mendengar kawannya akan berkarier dengan cemerlang, atau menikah dengan orang mapan, atau traveling keliling dunia, atau apapun yang serba wah. Tapi jawaban saya? Sungguh jauh dari wah.

Tapi kemudian, apakah kemudian hal itu menjadi masalah? Bukankah saya toh tak punya kewajiban apapun untuk memuaskan pemberi pertanyaan macam itu? Bahkan kalau saya bilang saya hanya ingin hidup di sini saja, di Balikpapan, sementara orang lain keliling dunia, itu bukan sesuatu yang salah. Yang perlu diperhatikan juga adalah bahwa banyak sekali detail dalam kehidupan saya yang tidak diketahui orang lain. Apa yang saya kerjakan di rumah ini? Apa yang saya kerjakan di dalam komunitas? Apa yang saya cari di dalam Semesta Kata? Ada begitu banyak mimpi besar yang ingin saya capai yang ternyata saya sadari dapat saya raih bahkan meskipun saya lebih banyak di dalam rumah daripada di luar. Tapi hal-hal seperti itu tak bisa diceritakan dalam sekali duduk, apalagi dengan seseorang yang sudah dua tahun tidak benar-benar berbincang dari hati ke hati lagi denganmu kan? Atau.. Apakah saya jadi tidak tampak melakukan apa-apa karena saya tidak pernah memposting pencapaian-pencapaian saya dalam media sosial? Saya tidak pernah share bagaimana karier saya, usaha saya, dan hal-hal yang telah saya rintis dari kecil. Waduh, kalau memang media sosial patokannya ya memang tampak ga pernah dapat pencapaian apapun. 

Pada akhirnya pelajaran besarnya adalah jangan mudah menilai orang lain hanya dari kacamatamu. Jangan mudah menilai orang yang hanya di rumah tidak melakukan apa-apa, jangan hanya mudah menilai orang yang tidak pernah di rumah berarti sudah melakukan banyak hal. Kehidupan kita sendiri sudah sedemikian rumit mengapa kita masih dengan mudahnya memberi penilaian-kepada orang lain?

Tapi di sisi lain saya juga senang. Senang karena pertanyaan-pertanyaan itu akhirnya membantu meletupkan api-api kecil di dalam diri saya untuk mewujudkan mimpi-mimpi dan segala yang telah saya susun selaam ini. Saya anggap itu sebuah motivasi. 

Komentar

Postingan Populer