menjadi kesatria

yang akan aku tulis kali ini hanyalah sebuah opini personal yang sangat subjektif, tanpa data yang cukup, dan sentimentil. aku nulis begini untuk mengingatkanmu, kalau kamu sedang ga ingin baca curhat menyek menyek kamu bisa tidak melanjutkan membaca tulisan ini.
masa pilkada sudah selesai. ratusan kaputen/kota telah selesai melaksanakan pesta rakyat kemarin. semua juga tahu meski dilaksanakan serentak hampir di seluruh Indonesia, pilkada DKI lah primadonanya. aku ga sedang membahas soal ahok atau anies. ga juga soal putaran kedua. yang ingin aku bahas adalah putra pertama pak beye, mas agus. sejak awal keputusan beliau menyelesaikan karier militernya dan terjun ke dunia politik, aku termasuk di antara sekian banyak warga yang ga setuju. jauh lebih dalam dari rasa ga setuju itu, rasa yang paling terasa kuat adalah kasihan sama mas agus. dan jauh lebih dalam lagi dari itu aku ga suka sama pak beye, bukan karena dia menceburkan mas agus ke dalam dunianya, tetapi karena dia mencabut mas agus dari dunia yang dicintainya. aku, bagaimanapun, tahu rasanya. maka karena itu aku merasa jauh lebih mudah memberi simpati kepada beliau. melepaskan karier yang dicintai, halal, bertumbuh, lagi seneng-senengnya, dan bermanfaat besar untuk bangsa negara, hanya demi karier yang serba kelabu, serba akting, kotor. dalam militer pun sebenarnya ada politik juga, tapi tentu beda bentuknya dengan politik murni. mungkin mas agus juga bakalnya terjun ke politik juga, tapi pasti banyak yang sepakat sama aku kalau bukan sekarang waktunya (iya iya aku juga tahu banyak yang berpendapat kalau sekarang adalah waktu yang paling tepat karena ini itu bla bla ble ble dan tak ada lagi selain mas agus maka mau ga mau mas agus harus turun bahkan meskipun itu berarti mengorbankan karier militernya yang cemerlang). tapi toh semua sudah terjadi, sudah berbulan-bulan lalu mas agus mengambil keputusan itu, lalu jadi calon gubernur, lalu kampanye kesana kemari, lalu ikut debat, lalu ikut menanggung bullying nasional atas kelakuan bapaknya, lalu sampai pada hari yang dinanti-nanti yaitu kemarin, lalu kalah. 

sudah bisa diprediksi kalah memang. mas agus dan timnya pasti juga menyadari itu. mereka juga pasti sudah menyadari strategi-strategi politik dan kemana saja skenario ini kemungkinan berjalan. tapi yang menjadi perhatianku kemudian, setelah akhirnya kalah, dan berpidato dengan lapang dada tentang kekalahannya, lalu akan kemana dia? ya jawabnya, kemana lagi kalau nda partai demokrat. ngapain lagi kalau nda melanjutkan pengolahan nasi yang sudah jadi bubur itu supaya jadi bubur yang enak. habis ini mas agus akan goreng ayam yang disuir-suir, bikin bawang goreng, kerupuk, motong daun bawang, dan nyiapin kuah, biar semua yang sudah direlakannya itu ga sia-sia. kalau ingat-ingat hal ini aku jadi malu sama diriku sendiri. malu karena kadang aku menjalani hidupku yang sekarang (yang notabenenya bukan pilihanku) dengan lebih banyak mengeluh dan tak bergerak. aku bergerak tapi untuk hal lain, mencari celah untuk kegemaranku yang lain, mengusahakan energi ini tetap mengalir menjadi sesuatu yang bukan semata kekecewaan. padahal yang aku hadapi levelnya masih cetek banget dibanding mas agus. pengorbananku ga sebanding dengan pengorbanan mas agus. kalau ingat-ingat hal ini aku jadi menghargainya karena dia memang lelaki yang taat pada orang tua, sabar, nrimo, dan lapang dada. mungkin ia mengeluh tapi selalu ada mba anisa yang menguatkan di sampingnya. harusnya aku juga kuat menjalani hidupku yang sekarang. 

ya, jadi dari sekian juta warna warni pilkada, kisah mas agus lah yang paling menyentuh aku karena situasinya benar-benar sama dengan yang kuhadapi. seperti yang mas agus bilang kemarin, "semua pasti ada hikmahnya", aku juga selalu dan selalu berusaha nerima dan menemukan hikmah di balik semua hal yang membingungkan ini. semoga ke depannya, mas agus, dengan apapun hal yang benar-benar unpredictable, bisa tetap survive. tapi aku percaya sih bisa. aku percaya beliau termasuk tipe orang yang berjiwa kesatria. 

Komentar

Postingan Populer