Dia Sekerat Jantung Hati Penuh Bekas Luka

Teman itu duduk berjarak dua meter di depannya, memegang secangkir teh atau kopi yang entah Dia menulis banyak nama di atas kertas, fokus dengan tugasnya. Seseorang menegur salah satu dari mereka, 
"eh, masuk gih, jangan minum di situ"
"di sini aja, betah gue, minum sambil liat yang manis"
Dia mengerti yang dimaksud manis adalah dirinya. Dia mengerti temannya itu serius sekaligus bercanda. Tak ada niatan menganggu. Pujian kecil seperti itu sudah sering diterimanya.

**

Acara usai. Dia, seperti semua panitia lainnya, sibuk mengambil apa saja yang bisa dibawa. Mereka berada di lantai tiga gedung pemerintah yang liftnya sengaja dimatikan karena bukan jam operasional kerja. Semua barang harus dipastikan terbawa dalam satu kali turun tangga kalau tidak mau balik lagi ke lantai tiga untuk kedua kalinya. Ia berpapasan dengan teman lelaki yang lain ketika teman itu bertanya,
"jaket ini punya siapa?"
"punya mba rara"
"kalau ini punya siapa?", teman itu menunjuk dirinya.
Sedetik ia tidak paham, detik berikutnya ia tertawa. Teman lelaki itu juga, sambil meneruskan kalimatnya,
"kalau belum ada yang punya mau aku bawa pulang".
Tentu hanya bercanda karena mereka berbeda agama.

**

Siang yang malas di meja kantor ketika sebuah pesan singkat masuk dalam gawainya

hei! Yang kupikirkan setelah melihat foto kita yang tersenyum di sosial media masing masing.
itu keren banget!
aku fansmu.

Dia terkejut. Dari mana temannya bisa membaca tulisan itu? Lebih tepatnya tulisan di blog sejauh itu? Percakapan berlanjut. Seperti biasa, banyak pujian untuknya. Ia berterima kasih dengan sungguh-sungguh karenanya

**

Pukul 00.15
Bulan alpa dari langit malam. Tak ada angin apalagi hujan. Hening, sehening hatinya. Tak ada yang mengganggunya, tak ada yang menanyakan kabarnya. Dia berselancar di dunia maya. Hampir semua kawan kecilnya bertunangan, menikah, memiliki anak pertama, hamil anak kedua. Memorinya berputar cepat mengingat orang-orang yang ia kenal baik. Orang-orang yang ia tahu tidak sempurna namun menjadi utuh karena telah bertemu dengan belahan jiwanya. Ia merenung dalam. Apa kurangnya dia? Setidaknya dia merasa tak begitu berbeda dengan teman-temannya yang lain. Tapi ia masih sendiri juga. Begitu banyak yang memuji, yang mengajak ngobrol, yang kode, tapi tak ada yang benar-benar serius datang ke rumah. Yang serius datang ke rumah pada akhirnya berlalu juga. Gagal berkali-kali sungguh membuatnya lelah. Apa salahnya dia? Kala tembok tangguhnya runtuh ia hanyalah sekerat jantung hati penuh bekas luka yang belajar bersabar dalam penantian. Dia hanyalah gadis kecil ibu yang penuh kekurangan. Dia tidak selalu setegar itu, tidak selalu semengagumkan itu.  Dia mulai melupakan potensi dirinya, juga melupakan bekal-bekal yang dengan serius dia tanamkan dalam dirinya. Dia mulai lebih mudah mengingat kekurangan-kekurangannya, rasa sedih, kecewa, dan luka-lukanya.

Pukul 00.17
Dia membuka lagi aplikasi instagram, membuka lagi akun yang sempat dihindarinya.

Hidup itu kadang memang bisa kaya kopi.

Pahit :)

Jempolnya bergerak ragu dan akhirnya mengurungkan diri menekan lambang hati itu, mengurungkan diri untuk menyentuhnya agar berwarna merah. Ingat, ujarnya kepada diri sendiri, kamu sudah memutuskan tidak berharap lagi. Jangan sakiti dirimu sendiri dengan mengungkit-ungkit apa yang masih terasa sakit. Kamu harus cepat melupakan orang yang memilih tidak memperjuangkanmu.

Pukul 00.20
Dia memeluk dirinya sendiri di lantai dalam posisi duduk. Dia tidak boleh tidur, atau sekedar berbaring di ranjang, karena dalam suasana muram seperti ini, ia hanya akan menangis tanpa tujuan.  Seketika dia sadar hatinya masih patah dan samasekali belum sembuh.

Pukul 00.25
Dia menguatkan hati. Mencoba tenang. Kembali membangun pilar-pilar keyakinan. Yakin. Yakin saja. Yakin saja waktunya akan tiba. Yakin penggantinya pasti lebih baik.

Pukul 00.27
Hatinya gelisah, ia harus mengalirkan kesedihannya.

Pukul 00.30
Ia mengusap wajahnya yang kebas, membuka blog, mulai mengetik dengan kalimat pembuka, teman itu duduk berjarak dua meter di depannya, memegang secangkir teh atau kopi yang entah.. 

Arus hangat dari muara mata, lembut menganaksungai di pipinya.

Komentar

Postingan Populer