Buku Sebagai Media Sosial

Judul artikel ini sebenarnya adalah sebuah kutipan yang pertama kali saya dengar dari seorang penyair bernama Aan Mansyur di sebuah ruang diskusi di bookcafe sekitar 2 tahun yang lalu. Waktu itu Aan Mansyur hadir sebagai pembicara atas bukunya sendiri, Melihat Api Bekerja, yang mana pertemuan itu kemudian tak hanya bicara soal buku yang ia tulis, tapi juga tentang kisahnya sebagai seorang pustakawan. Dalam ruang diskusi itu Aan berkali-kali menyampaikan gagasan yang sampai saat ini masih saya ingat. Gagasan itu antara lain adalah,
1. kita butuh ruang untuk bertemu, kita butuh banyak ruang-ruang kecil untuk saling berkomunikasi
2. saat ini bukan lagi eranya kompetisi tapi kolaborasi
3. buku sebagai media bersosialisasi.

Ketiga garis besar gagasan ini yang waktu itu benar-benar tertanam di benak saya. Aan selalu dan selalu menggunakan Makassar -kota di mana ia berdomisili saat ini- sebagai contoh-contoh dari gagasan yang ia beri. Sejujurnya ruang diskusi pada malam itu memengaruhi sedikit banyak apa yang saya lakukan setelahnya; bersama teman-teman Balikpapan Menyala menggagas Ruang Aksara dan membuat toko buku online Semesta Kata misalnya. Kali ini saya ingin menulis (lagi) tentang Semesta Kata. Hal ini berkaitan dengan gagasan nomor tiga.

Sejujurnya, dua tahun yang lalu itu, di ruang diskusi itu, saya agak mengenyampingkan gagasan tentang buku sebagai media sosial. Meskipun Aan menyampaikan pemikirannya dengan sangat jernih dan mudah ditangkap; bahwa seperti instagram, twitter, dan facebook, buku juga merupakan media untuk bersosialisasi; bahwa semua buku di Kata Kerja sengaja disusun secara acak agar menciptakan potensi bahan obrolan bagi pengunjungnya. Tetap saja gagasan itu tidak begitu istimewa buat saya. Bagi saya saat itu, jauh lebih menarik memikirkan tentang kebutuhan kita akan ruang untuk mengurangi kesenjangan komunikasi berbagai komunitas. Mengurangi kompetisi dan memperbanyak kolaborasi. Kini, di usia ke sepuluh bulan Semesta Kata, di bulan Oktober yang istimewa ini, mau tidak mau saya banyak teringat lagi dengan gagasan nomor tiga itu. Semua berawal dari semakin banyaknya Semesta Kata mempertemukan saya dengan orang lain. Ada banyak sekali cerita, mulai dari mengantar buku ke hotel, mengantar buku ke konsumen yang ternyata kakak kelas, mengantar buku ke konsumen yang ternyata sesama relawan kelas inspirasi, dan lain-lain. 

Minggu ini saya dapat dua teman baru. Yang pertama Mas Denis, seorang pendatang dari Jakarta yang menetap hanya beberapa bulan di Balikpapan karena urusan pekerjaan. Awalnya Mas Denis menanyakan toko buku, menanyakan alamat, kemudian akhirnya mengutarakan bahwa sebenarnya ia tidak ingin sekedar membeli buku, tetapi juga sedang mencari ruang baca di Kota Balikpapan. Mas Denis sendiri tidak memiliki instagram. Ia pengguna aktif twitter. Mungkin di Jakarta twitter masih banyak dipakai, tapi di Balikpapan twitter sudah banyak ditinggalkan meskipun saya sendiri masih menggunakannya. Mas Denis menemukan akun saya dengan bermodalkan hastag yang berbau literasi di twitter. Dari obrolan di chat saya mengajak Mas Denis ke pasar Klandasan, berkunjung ke Pena dan Buku, berlanjut sampai malam ini ia mengikuti Selasar untuk pertama kali dan cukup aktif terlibat diskusi di dalamnya. 

Kisah kedua adalah Mba Friska. Pagi tadi, sebuah chat masuk ke whatsapp saya, menanyakan buku, yang bagi saya adalah hal yang biasa. Yang tidak biasanya, pemilik nomor itu mengatakan ingin datang ke toko, mau lihat langsung buku-bukunya. Setelah saya jelaskan bahwa saya belum memiliki toko dan buku-buku hanya ada di rumah, singkat cerita dalam waktu satu jam pemiliki nomor itu sudah sampai ke rumah berdasarkan kisi-kisi seadanya yang saya beri via chat, tanpa tersesat samasekali. Perempuan muda itu mengenalkan diri sebagai Friska. Dari obrolan kesana kemari akhirnya ketahuan kalau usia kita sama dan almamater SMA kita juga sama, hanya berbeda angkatannya. Mba Friska bercerita panjang lebar tentang pengalaman literasinya di kota ini, tempat nongkrong kita dulu sama (lamin pohon), dan beberapa teman kita pun sama. Di penghujung kunjungannya ia mengutarakan bahwa ia merasa perlu membeli buku karena membutuhkan teman untuk menghabiskan waktu yang cukup panjang minggu depan. Hari Senin nanti ia akan menjalani operasi kecil dan salah satu persiapannya adalah membeli buku baru!

Dalam satu minggu ini pertemuan saya dengan beberapa orang baru membuat saya berpikir dua kali tentang betapa poin ketiga yang disampaikan Aan Mansyur dua tahun lalu itu ternyata bukan hal yang sepele. Kalau Mas Denis bilang, di mana pun buku akan mempertemukan pecintanya. Ya, saya pun percaya kadang-kadang hanya masalah waktu saja saya dipertemukan dengan orang-orang seperti Mas Denis dan Mba Friska. Saya percaya buku akan mempertemukan pecintanya dengan pecinta yang lainnya. Tapi, bagaimana Semesta Kata mempertemukan saya dengan Mas Denis dan Mba Friska yang kemudian juga mempertemukan Mas Denis ke lingkaran yang lebih besar di kota yang baginya asing ini, benar-benar membukakan mata saya tentang bagaimana cara buku bekerja sebagai sebuah media sosial. Buku merupakan sebuah media sosial yang bisa membuat orang asing menjadi sangat akrab dalam waktu yang singkat, karena orang yang membaca buku pasti mengenali orang lain yang juga membaca buku. Ada karakter-karakter yang terbentuk ketika seseorang sungguh-sungguh membaca buku, dan kesamaan-kesamaan itulah yang memudahkan dua pembaca yang bertemu untuk beradaptasi bagi satu sama lain. Betapa ajaibnya buku bekerja.

Komentar

Postingan Populer