Jadi yang Terakhir

Selalu gitu. Selalu jadi yang terakhir. Selalu jadi yang berbeda. Bahkan masih jelas rasanya percakapan pada suatu malam di kamar nomor 30 di asrama, ketika Anis bertanya, "kamu itu ngapain sih di sini, mbar? ini bukan tempatmu.". Ingat sekali waktu itu aku cuma bisa tersenyum. Kalau dipikir hasilnya saja memang aneh sih. Tapi kalau dirunut prosesnya aku yakin kuliah bidan adalah pilihan terbaik yang bisa kuambil dari sekian banyak pilihan yang tersedia waktu itu. Ingat juga jadinya ada jawaban "kamu kuliah di sini tuh karena takdir Allah buat ketemu kita". Anis juga yang bilang itu. Menjawab sendiri setelah bertanya sendiri. Seperti tersesat, tapi anehnya bertemu dengan orang-orang yang sangat amat mengerti. Mengerti kalau aku butuh didiamkan, butuh lebih banyak ruang sendiri, tapi selalu ada, selalu buka pintu kamar kos kapanpun aku butuh datang, selalu dengar kapanpun aku butuh cerita (meski sangat dikit), selalu penasaran dengan apa lagi yang sedang kukerjakan. Rasa-rasanya dulu mungkin aku memang nyasar, disasarkan untuk ketemu mereka. Mereka yang sekarang sudah nikah semua. Mereka yang bersepakat pasti aku nikah paling terakhir. Dan benarlah. Beberapa minggu lalu Intan nikah, Yuli juga, beberapa waktu sesudahnya Rosa melahirkan anak pertama, dan semalam Sanis melahirkan putra kedua. Alhamdulillah. Aku selalu selalu selalu bahagia dengan semua kebahagiaan mereka. Kebahagiaan mereka tidak pernah membuatku iri hati, bahkan meski aku belum waktunya mendapatkan rezekiku sendiri. Setiap kali mereka mengabarkan berita, baik senang maupun sedih, meski tak pernah lagi mendengar suaranya karena hanya membaca deretan kata-kata di grup, tapi aku selalu merasa dekat dengan mereka. Selalu merasa bisa mendengar suara mereka, binar bahagia di mata mereka, dan sesekali bahkan mendengar mereka mendoakanku dan sebenarnya ingin mengomeliku supaya aku segera menikah juga. Mungkin begitu ya yang namanya jauh di mata dekat di hati. 




Komentar

Postingan Populer