Menuduh Sosial Media

Beberapa waktu belakang ini berita yang melekat di benak saya adalah tentang kebohongan klaim prestasi. Ada beberapa nama mulai dari peneliti muda di Belanda itu sampai kabarnya pengusaha yang kabarnya juga merupakan motivator di Jakarta. Lebih dekat lagi sebenarnya hal ini terjadi di lingkungan dekat saya. Pertanyaan-pertanyaan seperti "apa sih motivasinya?" "memangnya kurang kah prestasi yang sudah diterimanya selama ini?" "memangnya bisa hidup tenang dengan mengemban kebohongan publik?" berkecamuk di pikiran saya. 

Beberapa hal mungkin bisa jadi pertimbangan. Seperti penyakit kejiwaan, tuntutan lingkungan untuk berprestasi yang terlalu ektrem sehingga memicu pelaku untuk berbohong, kebiasaan bohong kecil yang kemudian menjadi kebohongan-kebohongan besar, tidak paham kalau salah (tapi ga banget sih kalau ini alasannya), sampai narsisme demi kesuksesan pencitraan diri meskipun itu berarti merekayasa cerita atau bahkan mengaku-aku sebuah hasil kerja dari keringat orang lain. Dari beberapa obrolan intim dengan beberapa orang yang berbeda saya mendapatkan informasi-informasi baru. Mulai dari kemungkinan perilaku patologis, konsekuensi-konsekuensi dari sebuah kebohongan publik, sampai cerita-cerita bahwa hal seperti itu sudah sering terjadi dan bahkan banyak yang melakukannya dengan bangga meski usianya sudah tua bangka. Tapi tetap saja saya tidak habis pikir.

Hal yang paling meresahkan tapi sepertinya belum pernah jadi topik obrolan saya dengan orang lain, asumsi saya bahwa hal-hal macam ini terjadi tak lepas sebagai efek negatif media sosial yang tak memiliki batasan. Pasti pernah dengar kan jargon "gak ada orang miskin di instagram"? Jargon yang sebenarnya sebuah sindiran telak untuk para generasi millenial dan generasi Z yang (sepertinya) benar-benar menginvestasikan eksistensinya di media sosial. Membangun citra. Iya, secara psikologis sebenarnya eksis itu sesuatu yang alamiah, sangat wajar. Tapi kebebasan informasi yang bisa diakses media sosial bagaikan air bah yang menghantam (jiwa) seseorang dan tentu membuat seseorang mudah tumbang kalau tak punya akar yang kokoh. Era media sosial seolah menghalalkan semua orang membuka dirinya secara terang-teranga kepada dunia. Tentu tidak ada yang mau memperlihatkan sisi buruknya kepada dunia bukan? Tentu seseorang ingin diingat dari kebagusan fisiknya, kesuksesan kariernya, keberlimpahan rezekinya, kebaikan hatinya dan sebagai-dan sebagainya. Buat beberapa orang yang tidak kuat landasan kepribadiannya, hal-hal seperti ini rupanya sangat sangat penting sekali untuk menunjang eksistensi. Saking pentingnya, sampai-sampai unsur kejujuran bahkan bisa dikesampingkan. 

Saya sedih dengan fakta dalam kurun 1 bulan setidaknya ada 3 berita yang saya dapat berkaitan kebohongan seperti ini, tapi setelah saya renung-renungkan, saya terkejut sendiri mendapati diri ini sebenarnya tidak begitu heran. Ya, di zaman yag serba pamer macam ini rasanya hal-hal seperti itu memang mungkin sekali terjadi. Sama saja sih dengan orang yang berpakaian bagus, bergawai keluaran terbaru, rajin nongkrong di mall tapi sebenarnya tinggal di rumah kontrakan yang sangat murah, kumuh, dan papa. Ingin dapat  pengakuan, meski sebenarnya tidak mampu. Fenomena orang-orang yang seperti itu sudah sering banget kita dengar kan? Poinnya yang dipamerkan adalah harta, berbohong tentang kekayaan materi. Nah, jadi sebenarnya ya bisa saja ada yang berbohong tentang prestasi. Sama jugalah dengan orang yang merasa soleh. Duh sedih banget. Nulis begini aja sedih banget. Tapi memang benar adanya.

Fenomena ini sebenarnya sudah ada dari jaman dulu kala ya. Tapi lagi-lagi saya yakin, efek media sosial punya peran yang besar di kasus-kasus seperti ini. Kemudahan untuk mengakses kepunyaan orang lain (yang padahal belum tentu juga benar, meskipun memang ada yang benar) merupakan sebuah bentuk iming-iming virtual, yang mungkin buat beberapa orang bisa disambut sebagai tantangan untuk juga jadi sukses, tapi sayangnya tidak semua orang meraih sukses itu dengan cara yang santun. Upaya-upaya tidak santun itu kemudian dianggap wajar, dan menjadi karakter. Saya yakin sekali ini salah satu efek media sosial karena saya pun pernah terserang efek itu. 

Ada masanya (mungkin sekitar 2 tahun yang lalu) kehidupan sosial orang lain terasa begitu menyilaukan buat saya. Membuka instagram terasa sangat melelahkan karena saya melihatnya sambil membayang-bayangkan kepunyaan orang lain yang tidak saya punya, tapi tetap saja saya tidak rela menutup aplikasi itu. Saya iri dengan teman yang menikah, yang punya anak, yang jalan-jalan keluar negeri, yang kuliah lagi, yang kerja sesuai latar belakang pendidikannya, yang ini yang itu. Saya tau itu salah tapi saya tetap saja membuka instagram. Saya tidak bisa menghentikan jari saya sendiri ketika dia keasikan scroll.. scroll.. scroll.. Saya juga ingin punya sesuatu yang bisa dibanggakan, yang bisa diupload. Saya ingin pamer! Saya ingin eksis!. Duh betapa melelahkannya saat-saat itu. Bersyukur tidak berlangsung lama, dan bersyukur saya segera menemukan solusinya dengan membuat akun-akun yang (semoga) lebih bermanfaat. Jadi saya tetap buka instagram, hanya saja kesibukannya sudah tidak lagi memerhatikan kehidupan orang lain, sudah tidak lagi kepingin dilihat-lihat orang lain. Tapi kan itu saya saja. Perlu pergumulan batin dulu, lalu ikhtiar cari solusi dulu sampai bisa lepas dari efek media sosial. Lha gimana yang lain? Pasti ada juga yang berhasil, dengan cara yang sama atau berbeda dengan cara saya. Tapi saya yakin ada juga yang sudah terjerumus jauh ke dalam. Karena dipuji itu memang menyenangkan kok. Apalagi dapat like banyak, follower banyak. Apalgi kalau kesuksesan membangun citra di sosial media berdampak juga ke kehidupan nyata. Dilihat orang dengan segudang prestasi itu menyenangkan! Disorot media dengan muatan berita bagus itu membanggakan! Tapi entahlah kenapa mesti mengabaikan kejujuran. Mungkin tidak paham kalau itu salah. Mungkin tidak peduli kalau itu salah. Mungkin juga sudah putus urat malunya.


Komentar

Postingan Populer