di penghujung 2017 : pelajaran menjahit

Bulan lalu saya dan ibu memutuskan patungan mesin jahit mini. Patungan karena kami berdua sama-sama butuh dan bila dibagi dua harganya jadi terjangkau. Cincai, simbiosis mutualisme lah.
Saya sudah lupa kapan terakhir menjahit, meskipun masih ingat pola yang terakhir saya jahit adalah sebuah gaun terusan merah tanpa lengan hasil belajar dengan ibu. Bulan ini, karena sebuah kebutuhan, saya akhirnya berkutat dengan kain dan benang lagi. Sejujurnya menyenangkan sekali, rasanya seperti ketemu kawan lama dan berbincang lama tentang hal-hal yang membahagiakan hati. 

Malam ini saya menjahit lagi, dan mesin jahit mini ini mengajari saya sesuatu. Begini ceritanya.

Yang akan saya jahit adalah kain dengan busa yang akan dipasangi resleting. Setelah berkali-kali mencoba, ada satu giliran saya yakin sekali hasil jahitan selanjutnya akan rapi. Kain utama saya lapis dengan busa, begitu hati2 saya susun dengan resleting. Setelah rapi kemudian saya mulai menjahit. Serius hasilnya rapi banget. Dua sisi resleting sudah selesai saya jahit sempurna. Sampai tiba waktunya saya harus menutup jahitan kain. Yang namanya menjahit kan dari dalam ya, jadi yang saya jahit bagian atas adalah busanya dulu. Waktu saya balik, barulah saya sadar ternyata busanya terbalik. Jadi untuk busa sendiri dua sisinya berbeda, Satu sisi benar-benar lembut, sisi lainya lebih padat yang dimaksudkan sebagai sisi yang akan dijahit supaya jarum tidak terlalu sulit keluar masuk. Nah, saya terbalik, yang bagian lembut saya taruh di luar, sehingga tidak mungkin bisa dijahit dengan rapi. Saya tercenung sebentar, padahal sebelumnya saat menjahit bagian resleting, yang notabenenya menurut saya bagian yang paling susah, saya bisa melewatinya. Jelujur benang dengan resleting jatuhnya pas banget, rapi banget, dan saya berpikir hasil jahitan ini benar-benar cantik banget dan ga bisa lebih cantik lagi. Tapi karena busa yang terbalik alhasil jahitan itu tidak bisa dilanjutkan. Kalau dipaksa bisa-bisa busanya malah robek atau jarum malah patah. Yang jelas akan ada yang luka di situ. Mau tidak mau jahitan resleting yang sudah sangat rapi itu saya bongkar pelan-pelan dengan dedelan, potongan-potongan benang saya rapikan, busa saya balik, dan saya jahit semua dari awal lagi. Rapi, tapi tentu tidak serapi awal tadi. Tapi itu satu-satunya pilihan yang terbaik kalau mau hasilnya jahitan secara keseluruhan jadi. 

Proses ini membuat saya merenung beberapa saat. Kadang ada hal-hal di hidup ini yang saya rasa sungguh pas sekali dengan saya, dengan kepribadian saya, dengan keinginan saya. Kadang saya merasa segala sesuatu sudah sangat pas dan tidak bisa diganti dengan yang lebih baik lagi. Tapi kalau Allah bilang tidak, sekeras apapun hati saya ingin, ya hasilnya tetap tidak. Tidak bisa dilanjutkan, dan kalau dipaksa dilanjutkan konsekuensinya saya akan sakit sendiri. Sementara itu banyak juga hal yang menurut saya biasa saja. Saya suka dan tidak menolak, tapi biasa saja. Biasa dalam artian sebenarnya ada yang lebih saya ingini kalau mau jujur dalam hati. Tapi dengan yang biasa ini segala sesuatu berjalan benar dan lancar. On the track. Sesuai. Dan membawa kebaikan bagi saya. Membantu saya menyelesaikan banyak hal, dan segala target tercapai. Saya baik-baik saja, bahkan menjadi sangat membaik karena memang berada di jalur yang tepat dengan situasi yang tepat dan orang yang tepat. Kadang begitulah hidup kan. Apa yang kita benar-benar ingini belum tentu baik untuk kita, apa yang tidak kita ingini bisa saja adalah yang terbaik untuk kita. Kadang kita hanya perlu melihat pola dan tanda, untuk kemudian melanjutkan cerita. Di sinilah pentingnya belajar ikhlas dan percaya bahwa di atas segala keinginan-keinginan kita ada kehendak yang lebih agung dan jauh lebih memahami apa yang benar-benar terbaik untuk kita, melampaui kemampuan kita untuk mengetahuinya. 

Komentar

Postingan Populer