di penghujung 2017 : sebuah luka

Satu hal yang kupahami dari perjalanan hidupku sebagai seorang anak adalah, bahwa tak selamanya orangtua selalu benar dan selalu memahami anaknya sendiri. Sekalipun orangtua mengetahui siapa anaknya, tak selalu orangtua memahami apa yang ada di hati anak, apa yang benar-benar menjadi impiannya, apa yang benar-benar membesarkan hatinya, dan apa yang benar-benar sanggup meruntuhkan hasratnya. Mengerikannya, kadang jawabannya sebenarnya sama.  Tak terhitung berapa ucapan orangtua yang mematikan mimpi anak, membanding-bandingkan anak dengan saudara yang lain, menuntut anak untuk bisa sesuatu, tidak memberi apresiasi atas apa yang sudah bisa diraih anak dengan kerja keras hanya karena prestasi yang diraih anak bukanlah prestasi yang masuk dalam daftar kebanggaan orangtua. Apakah orangtua mengira hal-hal seperti itu tidak hidup di dalam kenangan anak? Anak yang hidup dengan kenangan seperti itu hanya akan tumbuh menjadi anak yang tidak percaya diri, meragukan kemampuannya sendiri, bahkan tak lagi mau berjuang lebih karena tak merasa ada harapan. Tunas yang harusnya tumbuh sudah diinjak mati tanpa sadar oleh induknya sendiri. Dan menyedihkannya, kadang anak yang harus merelakan masa depannya atas nama bakti, meskipun anak tak pernah meminta jadi anak, tak minta dilahirkan, tak juga minta dibesarkan. Yang lebih ironis bahwa anak memiliki jalan pikir dan cita-cita karena mengalami berbagai jalan pendidikan, yang mana ketika sampai di titik itu berarti cita-cita orangtua ingin memiliki anak yang berpendidikan sebenarnya telah tercapai, namun di titik yang sama harus ditumbangkan karena ego orangtua sendiri. Ah, ada satu lagi yang lebih menyedihkan, anak yang terpaksa menjalani hidup yang tak disukainya bukan hanya sekedar berjuang untuk membahagia-bahagiakan dirinya sendiri, tetapi juga harus melawan ketidakpercayaandirinya yang diruntuhkan orangtuanya sendiri, harus menghadapi orang-orang yang bertanya dan menghakimi dan atas nama bakti harus melindungi nama baik orangtuanya sendiri, dan atas nama perjuangan harus berjuang mencari remah-remah bahagia yang tersisa. Aku bingung dengan orangtua yang sudah susah payah menyekolahkan anaknya kemudian dengan egonya melarang anaknya bekerja sesuai ilmu yang didalami anaknya. Aku bingung melihat orangtua bisa merangkai alasan-alasan kepada orang banyak tentang mengapa anaknya yang sebenarnya ingin bekerja sesuai keahliannya tapi kemudian tidak bekerja sesuai keahliannya. Aku bingung melihat orangtua yang setelah bertahun-tahun kemudian mengatakan bahwa seyogyanya setiap orang yang berpendidikan harusnya menjalani profesi sesuai yang ditekuni setelah apa yang dilakukannya kepada anaknya. Aku bingung melihat orangtua yang sibuk menceritakan si A sudah jadi ini dan si B sudah jadi itu sesuai pilihan profesinya masing-masing lalu terdiam karena anaknya sendiri tidak menekuni profesi apapun karena satu-satunya profesinya sudah ia renggut dari anaknya sendiri dan segalanya sudah terlanjur dan terlambat. Aku bingung menghadapi kenyataan bahwa aku tidak pernah benar-benar ikhlas dengan keadaan ini meskipun semuanya sudah terlanjur dan terlambat. Aku bingung menghadapi kenyataan bahwa dalam hal ini aku tidak bisa menutupi kesedihanku kalau aku sangat kecewa dengan orangtuaku sendiri. Aku bingung menghadapi kenyataaan bahwa dengan teramat sangat dalam aku kecewa dengan diriku sendiri yang tak kunjung mampu ikhlas dan memaafkan orangtuaku dan tak kunjung menemukan maksud terbaik Allah atas jalan yang kutempuh ini. 

Komentar

Postingan Populer