di penghujung 2017 : melawan penyesalan, menjadi pemberani

"sebenarnya apa lagi sih yang dicari"

"ga paham dengan pilihan anak jaman sekarang, yang bagus dibuang terus yang diambil malah yang biasa-biasa aja"
"nanti kalau sudah merasakan biar menyesal dan ditanggung sendiri"


Adalah beberapa statemen yang sering saya dapat beberapa tahun belakang ini. Statemen yang isinya seratus persen meragukan kemampuan saya sebagai seorang individu dewasa yang sudah mampu mengambil keputusan. Usia saya 26 Oktober ini. Selama kurang lebih tiga tahun sejak lulus kuliah saya telah mengalami banyak pergolakan batin tentang keputusan-keputusan besar dalam hidup muda; karier, tempat tinggal, keputusan tidak merantau, organisasi yang saya pilih untuk menghabiskan waktu muda saya. Banyak sekali kegagalan-kegagalan yang saya alami, kemunduran yang gagal saya perjuangkan karena saya terlalu banyak mendengarkan apa kata orang lain dan tidak cukup berani untuk percaya pada nurani sendiri. Ada banyak penyesalan yang saya rasakan. Penyesalan atas kesempatan yang saya sadari tidak bisa kembali untuk kedua kali. Ada dua tipe orang yang menghakimi saya; yang pertama adalah menyayangkan ketidakmampuan saya memperjuangkan potensi yang saya miliki, yang kedua adalah meremehkan posisi saya yang serba nyaman dan dinilai saya raih dengan sangat mudah saat ini. Keduanya buat saya sangat tidak menentramkan hati. Padahal apa yang saya jalani sebenarnya sesuatu yang jelas-jelas tidak saya ingini tapi harus saya lakukan karena saya tidak sanggup menolaknya. Ketidaksanggupan saya menolak dan memberontak karena nilai dan kepercayaan yang saya anut. Nilai dan kepercayaan bahwa ridha tuhan ada pada ridha orangtua saya. Titah orangtua adalah firman tuhan yang turun dalam wujud perantara. Saya mencoba menelaah ke dalam hati kecil, bertanya setiap waktu, mencoba bernegosiasi dan berkompromi, membaca lebih banyak buku, menonton lebih banyak ruang diskusi di internet, mendengarkan kawan berbicara, memelajari bagaimana orang-orang sukses mengambil keputusan-keputusan dalam hidupnya. Kesimpulannya? Satu fakta yang tidak sanggup saya abaikan,terlepas dari apapun alasannya, yang saya lakukan ternyata sebuah kesalahan besar. Menuruti permintaan orang tua, mengalah kepada kakak, dan menjadikan karier sendiri sebagai kambinghitam dalam permasalahan keluarga adalah sebuah kesalahan besar, dosa terbesar yang pernah saya lakukan kepada diri saya dan ilmu saya sendiri. Saya menanggung dosa ini selamanya. Saya merasakan penyesalan ini selamanya. Namun seiring waktu saya belajar. Terus menerus menyalahkan keadaan tidak bisa membuat saya bahagia, pun tidak bisa membuat saya lepas dari lingkaran takdir ini. Allah letakkan saya di sini pasti dengan maksud tertentu, dan meski mungkin saya baru akan memahaminya di waktu-waktu mendatang, saya mencoba menerimanya saat ini dengan menjalani sebaik-baiknya. Tapi sisi lain dari kesalahan besar ini saya juga mendapat satu pelajaran yang jauh lebih besar lagi, pelajaran bahwa saya tidak boleh lagi meragukan diri sendiri, apapun yang akan dikatakan orang pada saya. Menghargai diri sendiri sebagai seorang individu yang punya kualitas dan harga adalah satu-satunya hadiah yang bisa saya beri untuk diri sendiri. Saya belajar untuk berani. Berani berorganisasi, berani mengemukakan pendapat, berani mengambil porsi di masyarakat, berani berpuisi lagi, berani berkolaborasi dengan orang lain, berani menulis lagi, berani berwirausaha lagi dan saya berani memilih siapa yang akan menjadi pasangan hidup saya sendiri. Dari tahun-tahun yang berat dalam persimpangan seperempat abad usia ini saya memutuskan untuk jujur terhadap diri, mempertanyakan orang seperti apa yang sebenarnya saya butuhkan sebagai teman hidup? apa hal-hal dalam dirinya yang benar-benar tidak bisa saya kompromikan jika tidak ada? apa dalam diri saya yang benar-benar tidak bisa saya kompromikan jika tidak bisa dia terima? Pertanyaan yang sangat pribadi dan mendalam yang hanya saya sendiri yang bisa menjawabnya. Akhirnya saya tiba juga di fase ketika segala bentuk pilihan seperti dihamburkan di depan mata dan seperti perhiasan yang berkilauan saya diberi kebebasan sebebas bebasnya untuk memilih yang mana. Kadang saya memilih, ternyata pilihan saya diambil orang. Kadang saya memilih, ternyata perhiasan itu terlalu indah dan mencolok untuk saya sehingga saya tidak nyaman memakainya. Kadang ada yang terlihat begitu indah, tapi saya tahu betul (yang belum tentu diketahui orang lain) kulit saya mengalami alergi dengan kandungan salah satu logamnya dan apabila saya paksakan hanya akan membuat saya sakit, kadang ada yang kelihatan cantik betul, tapi sayang imitasi. Pada akhirnya saya memilih yang sederhana, yang mungkin bagi orang lain terlampau sederhana untuk saya, tapi saya tau betul kandungannya tidak membuat saya alergi, wujudnya ditempa dengan bertahun-tahun pengalaman hidup, campurannya dari logam-logam mulia tanpa kepalsuan, beratnya cukup untuk saya kenakan tak terlalu ringan tak juga berlebihan. Pertimbangan-pertimbangan yang hanya saya yang mengetahuinya tapi tidak orang lain, tidak bahkan saudara saya sendiri, tidak juga bahkan orangtua saya sendiri. Pertimbangan-pertimbangan yang secara manusiawi memang kadang membuat saya cemas, namun dengan sejujur-jujurnya saya percaya telah meletakkan hati kepada orang yang bertanggungjawab. Maka ketika ada suara yang berkata "nanti juga akan menyesal" cukup dalam hati saya menjawab, benar, saya memang sudah menyesal, saya sudah pernah merasakan penyesalan yang sangat amat dalam karena dulu saya mendengarkan kalian dan mengabaikan nurani saya sendiri yang ternyata benar. Karenanya saya tidak ingin mengulang penyesalan itu lagi, terlebih untuk yang satu ini. 

Komentar

Postingan Populer