Filter Diri

Sosial media masih selalu jadi isu utama. Semakin hari bahkan semakin merajai setiap lini kehidupan. Barusan siang tadi saya mendapati sepupu yang berusia 4 tahun dan baru bisa bicara dengan huruf R yang masih bertagar berkata "aku suka lho main youtube". Kenyataan ini benar-benar menggelisahkan. Saya gelisah atas fakta anak sekecil itu sudah bisa melafalkan "youtube" dengan sorot mata yang jelas-jelas menunjukkan dia sendiri tidak paham seberapa bahayanya youtube bagi tumbuh kembangnya. Saya gelisah atas keyakinan bahwa anak sekecil itu pasti tau youtube ya tidak lain dan tidak bukan dari orang dewasa di sekitarnya. Kegelisahan saya semakin menjadi-jadi karena faktanya tidak semua orang dewasa memiliki kedewasaan dalan bersosial media. Ya, kita orang dewasa, para role model generasi alpha itu sendiri masih belum dewasa dalam menyikapi internet.

Masih banyak yang sering share video korban kecelakaan, kekerasan, kebakaran tanpa sensor. Banyak juga yang sering tulis caption tanpa menyertakan nama penulis aslinya. Banyak juga yang menulis caption dan menyertakan nama tapi nama yang salah karena mengambil dari sumber yang tidak jelas. Belum terhitung banyak yang suka ambil gambar/video tanpa menuliskan sumbernya. Dan belum juga termasuk tata krama berkomentar. Ketidakmampuan kita mengendalikan keingintahuan hal-hal yang di luar urusan kita. Sebenarnya saya pun tidak memiliki ilmu yang mumpuni tentang etika bermedia sosial (adakah pelajaran formalnya?), tapi setidaknya saya bisa meraba-raba etika itu dengan hati nurani. Sekedar berikan diri sebuah pertanyaan dasar sebelum memposting/berkomentar ; apakah saya mau diperlakukan seperti ini oleh orang lain? Kalau hal ini ditimpakan kepada saya, apakah saya akan terima atau malah jadi sakit hati? Satu pertanyaan sederhana itu saja dulu sebelum melemparkan apapun dalam dunia maya. 

Hal lain yang memicu kegelisahan saya adalah ketidakmampuan kita mengendalikan diri untuk membuka sosial media. Scroll, scroll, scroll. Bahkan jari ini sudah hapal betul setiap letak tanda, kapan harus mengetuk, kapan harus geser, kapan harus pelan-pelan untuk menghindari ketidaksengajaan pencet simbol hati, akui saja. Pembiaran sebagian besar dari kita atas sosial media yang lambat laun menguasai sebagian besar waktu kita secara perlahan juga memengaruhi pola pikir kita. Kita kemudian tumbuh menjadi sekelompok orang yang pintar menilai, menghakimi, ringan berkomentar, dan punya tingkat kekepoan yang melebihi batas. Hal-hal itu semakin parah karena seakan-akan semua orang melakukannya, bisa juga dijadikan bahan ngobrol dengan kawan kantor dan tetangga, sekedar jadi bahan bercandaan sambil belanja sayur mayur, dan kemudian menjadi sesuatu yang terlanjur biasa. Kita sudah membiarkan diri kita sendiri menjadi masyarakat yang terdegradasi etikanya secara berjamaah. 

Tidak cukup sampai di situ, ada lagi kegelisahan yang lebih besar yang saya rasakan. Apabila ada golongan masyarakat yang memanfaatkan media sosial sebagai media menilai, menghakimi, menghina, bahkan represi, ada lagi golongan lainnya yang termakan sosial media dengan segala kesempurnaan para sosialita dan terbuai dengan khayalan-khayalan dunia maya. Efek dari hal ini? Ya sudah tahu sendiri. Anak smp bisa ngambek ke orangtua hanya karena minta dibelikan gawai keluaran terbaru, remaja perempuan yang salah pergaulan jadi sekalian menceburkan diri dalam dunia malam untuk mendapatkan modal demi gaya hidup mewah. Belum terhitung seberapa pintarnya anak jaman sekarang dalam upaya pencitraan gila-gilaan demi jumlah follower belaka. 

Fakta-fakta ini menggelisahkan saya. Terlebih apabila dilihat dari geliatnya semua ini masih akan terus berkembang jauh dan entah bagaimana lagi nanti jadinya.

Menurut saya, seharusnya sudah mulai banyak digalakkan kampanye-kampanye cerdas bersosial media, kampanye-kampanye pendewasaaan diri di dunia maya. Seharusnya sudah mulai diramaikan isu-isu efek buruk sosial media dan bagaimana cara menghindarinya. Seharusnya sudah mulai ditumbuhkan diskusi-diskusi bahwa penyakit ini tak hanya berbahaya bagi anak-anak tetapi sebenarnya jauh lebih bahaya bagi orang dewasa yang merupakan role model bagi anak-anak. Seharusnya potensi penyakit akibat sosial media harus dibahas oleh banyak pihak sebelum benar-benar menjangkiti seluruh negeri semakin parah dan semakin sulit mengobati luka-lukanya. 

Filter diri. Filter diri itu amat penting sekali. Dan menurut saya masih sangat banyak orang dewasa yang belum memiliki filter dalam dirinya saat bersosial media; keputusan untuk mengepost dengan bijak, mengurangi kebiasaan selfie dan pamer kekayaan berlebihan, suka kepo dengan urusan orang lain, durasi bersosial media dalam satu hari, menghindarkan gawai dari anak-anak dengan membatasi dirinya sendiri, membiasakan diri membaca sebelum menyebar, membiasakan diri berpikir jernih dengan rasio akal untuk memahami mana yang hoax dan mana yang bukan. Pada akhirnya semua tergantung dari filter diri masing-masing, yang paling utama adalah filter diri orang dewasa, karena dari orang dewasa anak-anak akan menirukan segala perilakunya. 

Komentar

Postingan Populer