surat dari seseorang yang saleh (3)

Awalnya saya tidak menyadari dan tidak memahami kalau saya sudah berada di sebuah titik kemunduran. Segala kesedihan dan ketidakseimbangan hubungan dengan orang lain saya nilai sebanding dengan jalan dakwah. Saya tidak sadar saya lah yang sebenarnya sedang tersesat.. Tersesat dalam stigma dakwah dan stereotype hijrah. Ah, betapa buruknya saya karena ulah orang-orang seperti saya inilah jalan dakwah yang suci dan jalan hijrah yang murni menjadi buruk di mata. Orang-orang seperti saya lah yang membuat orang-orang baik lainnya enggan untuk masuk ke dalam islam secara kaffah. 

Puncak dari segalanya adalah ketika saya beralih dari orang yang belajar saleh menjadi orang munafik. Oh, masa itu datang ketika semangat saya mulai luntur dan lagi-lagi muncul banyak pertanyaan di kepala. Saya mulai menyisihkan ibadah dan tak lagi meletakkannya dalam prioritas, meski demikian saya tetap memakai atribut kesalehan dan berlagak seperti orang yang saleh juga tentunya tak lupa mensaleh-salehkan orang lain. Kemunafikan itu semakin hari semakin menjadi. Hati saya semakin tidak tenang. Jiwa muda saya memberontak ingin merasakan kesenangan-kesenangan dunia. Dan segala simbol-simbol kesalehan pun benar-benar hanya simbol belaka. Saya sudah sering ke masjid, sudah pakai pakaian taqwa, sudah terlibat banyak kegiatan amal, sudah memperbaiki citra sosial media, tapi hati ini belum juga tenang. Saya semakin bertanya-tanya, apa sebenarnya yang salah pada diri saya?

Lalu kemudian saya mulai mencari cara untuk menjawab segala kegelisahan. Saya memutuskan untuk perlahan melepas segala atribut kesalehan itu. Saya ingin memulai segala sesuatu dari awal kembali, mencari yang kurang, membenahi yang keliru. Saya memulainya dengan memutuskan membuka diri. Saya berteman lagi dengan yang di luar golongan saya. Berteman dalam konteks benar-benar berteman; meluangkan waktu bersama mereka, duduk di tempat mereka biasa bertemu, terlibat dalam pembicaraan mereka. Saya mulai mengubah bacaan saya, mengganti dengan topik-topik lain yang selama ini secara tak tertulis dijauhi oleh golongan saya sebelumnya. Saya berteman dengan tukang tatto, PNS, nelayan, karyawan bank konvensional, penari latar, pekerja sosial, aktivis HAM, tenaga kesehatan, penjual sayur, desainer grafis, traveller, artis, pekerja tambang, dan lain-lain. Saya memberanikan diri membaca sastra, mendengar obrolan tentang komunisme, menyimak lirik-lirik lagu proletar, memerhatikan orkes dangdut, datang ke konser amal anak punk. Saya merasakan kegelisahan-kegelisahan itu memenuhi diri, dan seperti bibit penyakit perlahan ia merambat seluruh tubuh, kemudian muncul di permukaan kulit, lalu luruh bersama air hujan. Oh saya mendapati betapa sempitnya diri ini memikirkan betapa benarnya saya dulu.

Oh betapa ada banyak kebenaran di dunia ini. Tiba-tiba saya merasa melihat Tuhan di mana-mana. Saya lihat tuhan di tangan orang-orang yang bekerja keras dari pagi sampai sore. Saya lihat tuhan di wajah ayah yang seorang perokok berat tapi banting tulang untuk menafkahi keluarganya dengan harta halal. Saya lihat tuhan di wajah seorang teman yang bersetia menolong sahabatnya tanpa ada embel-embel ayat. Saya lihat tuhan di tangan-tangan para relawan yang bergerak tanpa meributkan agama mereka apa. Saya lihat tuhan di pasar yang katanya tempat paling banyak setan. Saya lihat tuhan di cafe-cafe yang katanya tempat menghabiskan waktu dengan sia-sia. Saya lihat tuhan di perjalanan. Saya lihat tuhan di pantai, di warung remang-remang, di perpustakaan. Ternyata tuhan tidak hanya ada di masjid. Ternyata tuhan tidak hanya mencintai para pengusung simbol-simbol kesalehan. Bahkan ternyata tuhan tidak mudah tertipu oleh penampilan fisik, tidak antipati pada tato, tidak segan dengan rambut warna-warni, tidak takluk dengan rok mini, tidak alergi dengan dunia malam. Ternyata tuhan ada di mana-mana menemani perjalanan setiap hambanya. Demikianlah kemudian saya melihat betapa banyaknya orang munafik yang tak benar-benar soleh namun memakai atribut kesalehan. Meski demikian ternyata memang banyak juga para orang soleh yang benar-benar sesuai dengan atribut kesalehan yang dipakainya. Demikian juga saya lihat tidak semua orang yang tak berpakaian saleh hati dan hidupnya jauh dari tuhan. Meski memang banyak juga yang saya lihat tak berpakaian soleh dan perilakunya sama seperti saya.  Ah setidaknya mereka tidak munafik seperti saya

Saya kemudian belajar dari awal kembali. Mencoba mempertanyakan setiap detil atribut kesolehan yang selama ini saya kenakan tanpa banyak alasan. Saya juga mencoba mempertanyakan kembali kenapa tuhan memberi perintah dan memberi larangan. Otak saya berpikir lebih kritis. Saya lebih berani mengajukan pertanyaan. Karena berpikir itulah saya jadi tak lagi sembarangan menyalahkan orang lain, tak juga lagi gampang mengakafir-kafirkan orang lain. Saya jadi sadar kalau saya tak tahu apa-apa. Beberapa hal saya temukan jawabannya dan saya pilih sebagai pegangan. Beberapa lain masih saya cari di antara sekian pertanda yang terserak di muka bumi. Pada akhirnya saya sadar, hidup ini tentang pencarian. Tempat hijrah yang dulu saya datangi sudah benar, tetapi menjadi tidak benar bila saya fanatik kepadanya. Begitupun kebenaran-kebenaran lainnya masih tersebar begitu banyak di luar tempat hijrah, dan saya masih harus terus bergerak, berpindah, hijrah, untuk menyeimbangkan pikir dan perbuatan saya.



Komentar

Postingan Populer