Pulang

Sore yang kesekian. Sambil menahan tubuh meriang kamu masih santai dan ceria. "Mungkin kita cuma akan dapat senja sebentar aja. Sudah jam segini," katamu. "Lho, sekarang ini juga sedang nyenja kok, cuma ga di pinggir laut," kataku. Aku tahu kamu juga sedang memerhatikan langit yang menguning. Hangat. Lalu sebentar kemudian kita sudah sampai di pinggir laut. "Mataharinya bunder. Mau ke sana gak?" tanyamu. "Serius? Ayo", jawabku. Lalu terjadilah adegan panjat-panjatan pemecah ombak, bersejingkat di bebatuan, dan memanjat tembok beton di sebuah proyek dermaga yang belum jadi. "Siapa bilang kamu feminin. Ditambah ketemu aku, malah tambah sering tak ajak manjat-manjat", kamu terkekeh. Aku senyum-senyum saja. Di ujung tembok beton itu sudah ada sepasang muda mudi yang duduk dengan gitar dan semangkuk es campur. Waktu melewati mereka aku masih sempat berseru, "wih dapat es dari manaa?" Kemudian kita juga melewati empat pemuda laki-laki yang saling memotret, kemungkinan besar untuk bahan instagram. Tembok beton itu lebarnya hanya setengah meter, jadi hanya bisa dilewati satu orang. Kamu berjalan di depan, memanggul tas punggung berisi kamera dan menjinjing kresek merah yang isinya mukena seserahanku. Aku berjalan di belakang, tidak membawa apapun selain tas selempang kecil bersembunyi di balik kerudung. Akhirnya kita dapat tempat yang cukup untuk duduk. Di kejauhan tampak beberapa orang memancing. Matahari menguning. Bundar. Angin seperti hampir tak terasa. Lautan tenang nyaris tanpa ombak. Udara menghangat. Kulihat bulir keringat di dahimu. Aku yakin itu bukan sekedar keringat karena suasana yang sumuk, tapi juga karena sebenarnya kamu masih belum sembuh benar. "Aku butuh bergerak, kalau diam terus malah badan tambah sakit" katamu menenangkan. Lalu kamu meletakkan kamera di pangkuanku, loncat ke batu-batu di tepian dinding beton, ketika sampai dengan aman kamu mengulurkan tangan untuk meminta kamera. Kamu memulai ritualmu sendiri. Aku pun juga. Dari sini laut terasa dekat sekali. Selain karena sudah tidak ada lagi penghalang, inilah bagian daratan yang paling jauh menjorok ke teluk kecil ini, juga jauh dari jalanan. Jelas-jelas di belakang sana adalah kota di mana kendaraan sibuk lalu lalang, tapi duduk di sini rasanya seperti berada di dunia lain. Hanya ada laut, langit, dan matahari kuning bundar di seberang sana. 

..

Kamu sudah kembali duduk di sebelahku. "Suasananya sepi banget" ujarmu memecah keheningan. "Aku merasa ngelangut" ujarku. "Iya, memang yang seperti inilah yang namanya ngelangut. Namanya senja pasti ngelangut" Aku senja aku menimpali dalam hati. "Aku sudah tahu senja pasti begini" aku begini.  Hening. "Aku jadi sedih" ujarku. Kamu terkekeh. iya aku tahu, kata matamu. "Aku melankolis banget ya". "Kamu melankolis, aku ga bisa diem, cocok kan. Ayo pulang"

Komentar

Postingan Populer