Sebuah Kabar Duka

Sabtu kemarin Kota Balikpapan dilanda musibah tersebarnya minyak di perairan Teluk Balikpapan yang berujung sebuah kebakaran hebat di atas laut sepanjang hampir 1 km. Kebakaran di atas laut yang selama ini hanya bisa diimajinasikan terjadi di film-film atau paling mentok kartun avatar itu ternyata membawa dampak buruk yaitu meninggalnya 5 orang pemancing, matinya 1 pesut (belakangan saya dengar ada juga 1 lumba-lumba mati ditemukan di perairan sekitar Karingau), terbakarnya kapal-kapal kayu milik nelayan, dan satu kapal besar pengangkut batubara. Semua itu belum termasuk kerusakan lingkungan, bau minyak menyengat di seluruh kota, tercemarnya air hujan, pantai, dan matinya biota laut di perairan Teluk Balikpapan. Kemarin, 3 hari setelah kejadian, setelah sebelumnya mengelak, barulah pihak Pertamina mengakui bahwa minyak yang membawa bencana itu berada di bawah tanggung jawab perusahaannya. 

Di artikel ini saya tidak hendak menuliskan panjang-panjang tentang rentetan hukum, berbagai demonstrasi, maupun gerakan Balikpapan Oil Clean Up yang dilaksanakan hampir setiap hari oleh berbagai lapisan masyarakat. Di artikel ini saya ingin menceritakan sisi lain dari kejadian tersebut, kembali ke sabtu sore ketika naas itu berlangsung.

Sabtu itu saya tidak memiliki agenda ke mana-mana karena memang sudah merencanakan akan beres-beres kamar saja. Jam setengah lima ibu pulang pengajian. Baru sekitar lima menit di rumah ibu sudah sibuk lagi dengan gawainya. Tak lama berselang tiba-tiba terdengar ibu berteriak kaget. Saya buru-buru keluar kamar, mencari ibu di mana, dan mendapati ibu di dapur masih menelepon seseorang entah siapa. Saya sudah hapal reaksi ibu saat panik, terutama jika menerima kabar duka. Ibu masih menelepon dalam kondisi berdiri, berjalan bolak balik dengan gelisah, kemudian di satu titik ibu menunduk seolah sesuatu menohok jantungnya begitu keras. Ibu menunduk sampai terduduk, lalu menangis sambil mengucapkan satu nama: wahyu. 

Memori saya langsung bongkar pasang, mencari-cari Wahyu ssiapa yang memungkinkan tubuh ibu merespon sampai sebegininya. Tidak ada keluarga bernama Wahyu. Wahyu dalam hidup saya hanya Wahyu teman mas SMP yang beberapa bulan lalu menikah. Saya tanyakan ke ibu wahyu siapa, lalu ibu mengucap, bulek surati. Deg. Saya langsung tersadar, masih ada satu lagi Wahyu yang bertalian dekat dengan kami. Wahyu tetangga yang rumahnya di gang mushola Al Ghofur. Wahyu anaknya Bulek Surati yang kepada ibu sering saya beri nama khusus Bulek cantik. Wahyu yang usianya setara dengan usia saya, hanya selisih 1-2 tahun. Wahyu yang baru dua tahun menikah dan belum dikaruniai momongan. Innalillahi wa inna ilaihi rajiun...

Berita duka itu menjalar dengan cepat di kampung tempat kami tinggal. Bulek Surati dan Om Agus cukup dikenal dan memiliki banyak keluarga di kampung ini. Hujan mendadak turun deras, Ibu mencoba menelepon teman-temannya namun tidak ada yang mengangkat. Seorang tetangga depan rumah datang, memberitahukan kalau tetangga-tetangga yang lain sudah berkumpul di rumah duka. Ibu bergegas dengan berlindung payung, dan kembali saat adzan magrib. Sampai jam setengah sebelas baru terdengar bunyi ambulans. Ibu yang awalnya mau kembali ke rumah duka setelah magrib, tetapi urung karena kepalanya mendadak pusing, Menurut kabar yang didapat, tetangga yang tidak datang hanya ibu dan satu orang lagi yang memang sudah sepuh. Ibu memantau kondisi dengan menelepon tetangga-tetangga yang bisa ditelpon. Ternyata banyak yang kembali ke rumah duka setelah masing-masing pulang untuk adzan magrib. Semalam itu ibu memang tidak kemana-mana, tetapi bukan berarti juga bisa istirahat. Saya sengaja melama-lamakan bersih-bersih kamar dan bersih-bersih diri agar ibu punya teman ngobrol. 

Paginya sesudah subuh ibu langsung melawat ke rumah Bulek Surati, disusul bapak sekitar pukul setengah 8. Setengah jam setelah bapak berangkat, setelah rampung beres-beres rumah saya segera mandi, berganti pakaian, dan berjalan kaki ke rumah duka. Sudah banyak sekali orang di sana. Saya bergegas masuk dan tertahan hanya sampai di teras rumah. Saya duduk di depan pintu teras, tepat di sebelah karangan bunga dari PT Elnusa tempat almarhum bekerja. Wahyu Gusti Anggoro, nama yang dalam beberapa hari ini sering saya baca di berbagai media daring maupun cetak sebagai salah satu korban tumpahan minyak terbakar di perairan Balikpapan. Begitupun korban lainnya atas nama Iman, yang juga ternyata tetangga mbah di kebun sayur, pemilik tempat bordir bernama Imata Bordir yang sudah saya hapal sejak kecil. Betapa sempitnya Balikpapan, sehingga ketika ada peristiwa macam ini hampir dapat dipastikan korban memiliki hubungan dengan kita, entah hubungan itu selisih satu orang seperti tetangga saudara kita, sudara teman kita, atau bahkan hubungan tanpa perantara, semisal tetangga kita sendiri, teman kita sendiri, atau mungkin saudara kita sendiri. 

Ruang tamu Bulek Surati yang terkenal berada itu sudah penuh dengan pelawat berbaju hitam. Terakhir saya ke rumah ini, beberapa bulan yang lalu saat mengantar oleh-oleh ibu dari Jakarta untuk Bulek Surati, Deretan sofa mewah dan meja yang penuh dengan jajajan dan minuman gelas mengisi ruang tamu. Ketika saya datang semua sudah dipinggirkan berganti satu sosok yang sudah tertutup kafan dan berselimut kain batik. Tampak bersimpuh di kanan kiri almarhum, Bulek Surati dan Mba Uli, anak Bule Surati yang pertama. Istri almarhum duduk di belakang Bulek, bersandar di dinding, lemah tanpa ekspresi. Sudah tidak ada lagi airmata, barangkali karena sudah terkuras sejak kemarin sore dan sepanjang malam, atau juga karena terlalu banyak tamu yang datang memberi sedikit pengalihan. Tapi kesedihan masih sungguh menggantung di langit-langit ruangan. Dari ibu saya dengar berita, bapak mertua Mas Wahyu baru saja meninggal beberapa waktu yang lalu karena sebuah kecelakaan lalu lintas. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan istri almarhum saat itu, sudah kehilangan bapak, kemudian kehilangan suami. 

Mas Wahyu, anak laki-laki satu-satunya, kebanggaan keluarga, masih sangat muda gagah, pergi tercerabut dari keluarga begitu saja tanpa pertanda di usianya ke 27. Begitu cepat, begitu tiba-tiba. Kadang kepergian orang yang memang kita ketahui sudah lama sakit, atau sudah berusia tua kita anggap sebagai sebuah kewajaran belaka. Sementara itu kepergian orang muda seperti almarhum Mas Wahyu sungguh mengingatkan saya pribadi, bahwa kematian tidak pernah mengenal usia. Tidak juga mengenal cara. Kematian bisa datang kapan saja dan di mana saja jika memang sudah habis waktunya. Kepergian Mas Wahyu mengingatkan kita semua siapapun bisa saja pergi, begitu saja, meninggalkan semua hal di dunia ini, lepas, putus, dan melanjutkan perjalanan sendirian di fase selanjutnya. 

Saya masih ingat betul momen ketika mengucapkan belasungkawa ke Bulek Surati. Satu kalimat sederhana yang ya, itulah yang seharusnya saya lakukan selagi sempat, selagi masih diberi usia. Mengumpulkan sebanyak mungkin bekal, membersihkan sebanyak mungkin noda yang terlanjur dibuat. Sejujurnya saya salut dengan Bulek Surati, yang dalam keadaan begitu kehilangan masih sanggup menerima tamu dengan cara yang baik, alih-alih berlarut-larut dalam kesedihannya. Dengan muka sembab, Bulek menerima pelukan dari siapapun yang datang begitu juga saya, dan sekedar lirih mengatakan, "Mba Ambar, minta maaf kalau Wahyu ada salah ya..."

Komentar

Postingan Populer