Perasaan Marah dan Bersalah

2 Ramadhan 1939 H

Banyak sekali yang ingin saya keluarkan. Unek-unek. Tapi belum juga sempat semua dituliskan, berita pagi ini menyedot perhatian - dan kebahagiaan.



Sebenarnya ini bukan berita kekerasan seksual pertama yang saya baca, apalagi di koran lokal Balikpapan. Banyak, sudah terlalu banyak malah. Tapi pagi ini entah mengapa berita ini benar-benar merobek hati saya. Sedih, miris, marah, sebutkan saja. Sejujurnya, saya marah kepada semua pelaku yang betul-betul tidak punya otak dan hati nurani merusak masa depan anak-anak. Bukan, saya tidak hanya menyinggung tentang selaput dara (oh tentu itu sangat penting jadi ga usah dibahas), tapi ada satu hal yang sangat amat penting dan ga terlihat: psikisnya. Jiwanya. Betapa ga beradabnya manusia yang tega melukai manusia lain. Fisik yang luka bisa dilihat dan lebih mudah disembuhkan, tapi jiwa yang luka, selain tidak bisa dilihat, sangat sulit disembuhkan. Butuh proses yang panjang, yang jika gagal maka akan merusak satu kehidupan. 

Di sisi yang lain, kemarahan saya bukan hanya kepada para pelaku, tapi juga kepada pihak yang berwenang menindak tegas kasus macam ini tapi toh buktinya sampai sekarang kasus-kasus itu seperti ga terselesaikan dengan maksimal. Banyak, banyak sekali kasus yang selesai lewat jalan damai. Banyak sekali pelaku yang tidak mendapat hukuman setimpal, banyak sekali korban yang tidak mendapat penanganan memadai - mungkin fisik, tapi belum psikisnya. Saya ingin marah dengan mereka-mereka yang punya kekuatan untuk mengatur kebijakan tapi hanya berputar-putar dengan pembelaan diri dan instansi yang di situ-situ saja. Saya juga marah pada diri saya sendiri. Marah karena merasa sangat tak berguna. Marah karena ingin melakukan sesuatu tapi ga tau apa. Mau marah-marah juga ga menyelesaikan masalah. Kasus-kasus kekerasan seksual adalah kasus-kasus dengan penanganan yang panjang dan melelahkan, itu yang saya ingat pernah dikatakan Mba Helga. Di samping kehidupan pribadi yang harus terus berjalan dengan penuh cinta dan optimisme, tapi pengawalan kekerasan seksual juga harus terus berjalan dengan pikiran dan perasaan yang terkuras habis oleh kekecewaan, kesedihan, kemarahan. Hal ini adalah sebuah keresahan tersendiri bagi saya pribadi, keresahan atas keinginan untuk ikut bergerak, ambil bagian meskipun dalam porsi kecil namun konsisten, tetapi masih belum sanggup memilah dengan segala agenda hidup yang sudah sangat padat. Setiap membaca berita ada lagi korban yang jatuh, saya merasa bersalah, sangat bersalah..

Komentar

Postingan Populer