Mbah

Yang pertama kali kulihat saat bangun adalah karakter-karakter kartun yang memenuhi seluruh dinding ruangan ini, televisi yang masih memutar murratal dari Mekkah, kemudian salah satu celah jendela yang tak tertutup rapat memantulkan warna hitam kelam. Tentu di luar masih gelap. Mesin pendingin ruangan menderu tanpa lelah, pelaku utama yang membuatku menggigil semalamam meskipun sudah mempersiapkan sweater tebal dan kaos kaki. Sahur dengan lauk yang dibawa dari rumah alakadarnya. Dari sini suara suling pengingat imsak terdengar sangat jelas. Sekitar pukul enam dua perawat datang untuk memasang lagi infus yang semalam entah bagaimana bisa lepas. Di sekitar waktu itu juga celah jendela yang semalam berwarna hitam mulai menyisipkan cahaya putih. Aku menyibaknya perlahan, sudah sejak semalam penasaran pemandangan macam apa yang terlihat jika tirai di jendela itu dibuka. Tampak hamparan lautan pagi yang dinaungi gulungan awan kelabu. Di bawah terlihat atap dua gedung kecil yang lebih rendah yang kukenali sebagai mushola dan kamar jenazah. Seharusnya kami dapat kamar di lantai bawah, tepat di sebelah kamar jenazah jika tirai jendela dibuka, tetapi karena kran air di kamar bawah rusak maka kami dapat kamar di atas, di kamar anak-anak yang penuh dengan tokoh kartun di seluruh permukaan dindingnya. Pukul setengah tujuh berpamitan, bergantian shift jaga. Biasanya aku selalu pulang sudah dalam keadaan mandi, namun kali ini entah mengapa ingin mandi di rumah saja. Masih dengan pakaian tidur semalam, menjinjing tas, keluar dari kamar, menuruni anak tangga rumah sakit yang ternyata berdinding kaca bening dengan pemandangan langsung ke arah lautan. Indah, tapi jika boleh memilih, tidak ada satupun yang ingin menginap di sini. 

Sudah kesekian kali mbah masuk rumah sakit. Awalnya rumah sakit andalan mbah adalah RS Hardjanto atau yang biasa dikenal RS Tentara. Namun sejak mengalami penanganan yang lamban dan mendapatkan pelayanan yang lebih baik, mbah pun pindah jadi pelanggan setia RS Bayangkari. Sampai saat ini. Selama kira-kira satu tahun ini, sejauh yang aku ingat mbah sudah 4 kali masuk rs ini. Pertama saat harus operasi pembersihan nanah di jempol kaki setahun yang lalu, kedua saat sesak napas aku yang mengantar sekitar dua bulan lalu, ketiga saat sesak napas tante-tante yang mengantar di akhir Mei, dan keempat sekarang ini juga dengan alasan yang sama, lagi-lagi sesak napas ditambah perut yang membesar dan terasa penuh. Dua kali masuk rumah sakit selama bulan ramadhan. Diabetes dengan komplikasi pembengkakan jantung yang saat ini sudah sampai menggagalkan fungsi kerja ginjal. Semua anggota keluarga, termasuk mbah sendiri sudah diberitahu sejak jauh-jauh hari bahwa pada akhirnya ke sinilah muara dari penyakit kronis ini. 

Bertahun-tahun berjibaku dengan insulin, berbagai obat, keluar masuk rumah sakit, dan mbah sudah bertahan sejauh ini. Dari perjalanan bertahun-tahun menemani mbah sakit, rasanya sakit di bulan ramadhan ini adalah momen di mana aku bisa mengambil begitu banyak hikmah. Dari sakitnya mbah akhirnya aku paham mengapa Rasulullah sampai menyebut nama ibu 3x sebelum menyebut nama bapak. Mengapa perlu diulang-ulang di beberapa hadist lainnya yang menekankan betapa besarnya ganjaran bagi anak-anak yang merawat orangtuanya. Meskipun sebenarnya merawat orangtua adalah kewajiban, ternyata tidak semua anak mau dan sanggup melaksanakan kewajiban yang satu ini. Satu ibu bisa merawat sepuluh anak, tapi sepuluh anak belum tentu bisa merawat satu ibu. Ah, seharusnya aku sudah tahu dari dulu, mengapa ibadah merawat orangtua selalu berbayar surga, ternyata karena memang ibadah yang satu ini tidak mudah. Tidak pernah ada cara yang mudah untuk meraih surga. 

Dari kejadian ini juga aku diberi kesempatan untuk meraba sedikit saja perasaan ibuku yang ternyata selama ini begitu berlapis-lapis menyimpan setiap kegelisahan, kecemasan, ketakutan, masalah, dan cobaan. Melihat ibu yang begitu kuat nyaliku jadi ciut, apakah aku bisa menjadi anak sekaligus istri sekaligus ibu sekaligus mertua sekaligus nenek sekaligus saudara yang kuat seperti ibuku nanti? 

Hikmah besar lainnya mengajarkanku tentang betapa berharganya waktu dan kesempatan. Mbah sering mengungkapkan bahwa di usianya yang ke 69 ini mbah sudah cukup dapat banyak bonus dari Allah, masih diberi kesempatan melihat anak, cucu, dan cicitnya tumbuh. Kadang aku iri sama mbah yang diberi sakit sebagai penggugur dosa dan alih-alih langsung dijemput pulang secara mendadak tetapi malah diberi kesempatan bertahun-tahun untuk beribadah dengan khusuk dan mempersiapkan diri. Meski pada akhirnya, sekejam apapun diagnosis dokter toh tetap tidak bisa menetapkan secara pasti kapan mbah berpulang, karena lagi-lagi ini semua rahasiaNya. Bahkan meskipun mbah yang sakit separah ini, tidak ada yang bisa menjamin juga kita, anak cucunya yang sehat bisa terus sehat sampai besok lusa dan gak pulang lebih dulu daripada mbah. Setiap orang memiliki waktunya masing-masing. 

Bagaimanapun, waktu terus berjalan. Manusia harus terus berjuang menjemput takdirnya masing-masing. Termasuk mbah, juga anak cucunya. Setiap orang memiliki keresahan di hatinya masing-masing, setiap orang menyisipkan doa di ruang sunyinya masing-masing. Rencana-rencana masih terus berjalan, ramadhan diam-diam bersiap untuk berpamitan, dunia masih terus sibuk dan disibukkan. Hanya kepada Allah kami berserah dan hanya kepada Allah kami memohon pertolongan.

Komentar

Postingan Populer