Terpisah dari Suami, Ini Pengalamanku Menyapih Anak Sendirian

               Hai bunda, apa kabar ?

Tak terasa pandemi sudah berlangsung hampir 2 tahun ya. Bagi orangtua muda, rentang 2 tahun adalah waktu yang cukup untuk terjadi banyak hal. Mungkin ada yang awal pandemi sedang hamil muda dan saat ini sudah melahirkan buah hatinya. Mungkin ada juga yang saat awal pandemi sedang melahirkan dan saat ini sang permata hati sudah mulai belajar berjalan bahkan berlari. Sama seperti pandemi, anakku Sekar Jingga juga sudah menginjak usia 2 tahunnya nih, Bun. Selayaknya anak ASI berusia 2 tahun, saatnya ia disapih akhirnya datang juga.

Menyapih bermakna menghentikan bayi menyusui dari payudara ibu. Meski proses penyapihan setiap anak berbeda-beda sesuai kebutuhannya, menyapih umumnya dilakukan pada saat si kecil berusia 2 tahun. Sebagai ibu yang baru punya anak satu, aku mencoba berbekal dengan membaca banyak artikel jauh-jauh hari sebelum masa menyapih tiba. Beruntung sekali aku menemukan artikel Menyapih Si Kecil dengan Cinta di website ibupedia.

Proses menyapih memang proses personal antara ibu dan anak, namun bukan berarti ayah tidak punya peran di dalamnya ya. Katanya, salah satu cara menyapih yang efektif adalah dengan melibatkan kedua orangtua. Menurut teori yang banyak beredar, kalau anak mulai nangis maka sosok yang paling ideal untuk menenangkan anak adalah sang ayah. Kehadiran ayah juga bisa meringankan beban bunda saat menyapih. Hal ini pun sudah kumasukkan dalam bahan diskusiku bersama suami menjelang persiapan menyapih Sekar. Suamiku terkejut namun tak menolak informasi tersebut. Mungkin dia sudah membayangkan duluan betapa akan melelahkannya malam-malam masa menyapih untuknya. Sudah seharian kerja keras di kantor, malamnya masih harus bertugas jadi ayah yang baik. Mungkin lengkingan tangisan Sekar sudah mulai masuk di bayangannya sebagai bahan antisipasi dari jauh-jauh hari. Apakah ayah lainnya juga merasakan hal ini ya?

Persiapan Menyapih yang Penuh Tantangan

Persiapan menyapih kami cicil sejak jauh hari. Aku dan suami rutin menyisipkan pesan tentang penyapihan ini sejak Sekar berusia 18 bulan dan makin intens saat Sekar memasuki usia 22 bulan. Sayangnya, skenario yang sudah kubayangkan di dalam kepala berbulan-bulan itu dimentahkan oleh satu chat di grup whatsapp keluarga di awal bulan Juni 2021, menyampaikan kabar bahwa bapakku di Balikpapan sedang sakit dan akan menjalani tindakan di rumah sakit. Hati kecilku terusik, teringat akan janji yang kusimpan sendiri dalam hati sebelum ikut suami merantau, bahwa jika orangtuaku baik bapak, ibu atau keduanya sakit, dan aku masih mampu untuk pulang maka aku akan pulang. Dengan berbagai pertimbangan, meskipun masih pandemi akhirnya kumantapkan lisanku meminta izin pada suami. Aku tahu suamiku tentu memberikannya. Menurut perhitungan kami, harusnya 2-3 minggu saja aku sudah bisa kembali, sehingga ketika masa menyapih Sekar tiba , kami sudah di rumah dan bisa melakukan proses menyapih ini dengan damai sesuai rencana.

Singkat cerita aku dan Sekar pulang ke rumah orangtuaku di Balikpapan, dengan rencana maksimal 3 minggu sudah pulang ke Gresik. Sejak datang ke Balikpapan aku langsung mengambil alih tugas menjadi pendamping pasien yang biasanya dilakukan saudara-saudaraku. Karena aku sering menemani bapak bolak balik ke rumah sakit, Sekar makin jarang nenen. Biasanya ia hanya nenen saat malam saja. Malang tak dapat ditolak, setelah bolak balik persiapan, jadwal operasi bapak harus mundur 3x dan terpaksa jadwal pulangku pun ikut mundur. Duh galau sekali rasanya Bun. Meskipun demikian aku masih bersyukur bapak mendapat fasilitas kesehatan yang baik, terlebih lagi bapak pulang dari rumah sakit bertepatan pula dengan naiknya gelombang 2 covid yang didominasi varian delta,penyebab banyak rumah sakit menerima pasien covid19 termasuk nakes2 yang sibuk mengurus pasien covid19. Aku bersyukur urusan bapak sudah selesai dan bapak bisa menjalani perawatan lanjutan di rumah saja.

dokumentasi saat di rumah sakit

Satu masalah sudah selesai namun masalah baru muncul di hadapanku. Karena situasi pandemi yang semakin mengkhawatirkan, pemerintah akhirnya menetapkan kebijakan PPKM darurat yang mana salah satu poinnya adalah kewajiban vaksin bagi siapapun yang ingin menggunakan fasilitas kendaraan umum termasuk pesawat terbang. Mencari vaksin untuk ibu rumah tangga tanpa ikatan dinas dengan siapapun sepertiku bukanlah hal yang mudah di kota ini, barangkali juga mungkin karena stok vaksin yang ada masih difokuskan untuk pulau Jawa dan Bali. Otomatis aku masih tidak bisa pulang sampai mendapatkan vaksin pertamaku. Hiks, sedih sekali rasanya harus berjauhan lebih lama lagi dengan suami.

Menyapih tanpa partner

Hari-hari terus berganti. Tidak peduli betapa meresahkannya pandemi, bagaimanapun ulangtahun Sekar datang juga dan masa menyapih akhirnya tiba juga. Jujur kali ini aku merasa deg-degan karena akan menjalani proses penyapihan tanpa partner, sesuatu yang di luar dugaanku sebelumnya. Bagaimanapun tantangannya semua harus dijalani dengan ikhlas bukan? Sekali lagi aku mencoba menambah bekal menyapih, salah satu kekuatanku di kala galau melanda adalah membaca. Beruntung sekali lagi ada ibupedia yang mudah diakses di mana saja dan kapan saja. Aku mencoba mendalami lagi artikel Cara Menyapih Anak Biar Sukses Tanpa Drama dan meyakinkan diri bahwa aku bisa menyapih anakku dengan damai meskipun sendirian saja. Dan inilah catatan pengalamanku menyapih Sekar Jingga

Hari pertama. Malam pertama menyapih kuhitung dari tanggal 29 Juni 2021, tepat di detik-detik Sekar mamsuki usia keduanya. Malam pertama menyapih kulalui dengan doa dan mulai mencoba mengajak Sekar tidur tanpa ritual nenen. Sekar nangis dan proses mencoba mengalihkan perhatian dari nenen itu berlangsung sampai jam 10 malam. Malam itu kuputuskan tetap menyusui Sekar tanpa banyak perlawanan. Malam pertama menyapih kuanggap tidak berhasil.

Hari kedua. Hari kedua menyapih yaitu tepat pada saat ulang tahun Sekar. Setelah seharian merayakan ulangtahun hanya dengan keluarga inti kami, malamnya Sekar kecapean sekali. Aku masih mencoba afirmasi dan mulai memberikan susu formula di gelas. Ia tampak bersemangat karena susu di gelas adalah hal yang baru baginya. Kesalahanku, aku membuat susu tanpa mengikuti saran penyajian dari kemasannya. Alhasil, susu perdana Sekar sangat hambar, nyaris seperti air putih yang secara harfiah berwarna putih tapi tidak ada rasanya. Serba nanggung. Sekar menyicipinya dengan semangat 45, tapi tepat saat lidahnya menyentuh susu, saat itu pula ia menolaknya. Badanku langsung lemas namun menyadari bahwa itu akibat dari kesalahan yang kubuat sendiri.

Akhirnya Sekar kubujuk tidur saja, ia mulai mengeluarkan senjatanya untuk minta nenen, yak tentu saja dengan menangis. Ia menangis kencang sekali dan aku hanya duduk memerhatikannya. Setiap kali ia mulai reda, aku menawarkan pelukan, ia mendekatiku dan minta nenen, aku mengalihkan tanpa berkata tidak, lalu dia menangis lebih kencang lagi sambil guling-guling di kasur. Ibu bapak yang sudah berbulan-bulan tidak dengar tangisan anak kecil di malam hari tentu tidak betah. Bolak balik mereka masuk kamar memandangi cucunya yang menangis, menanyakan apakah tidak ada cara lain untuk menyapih yang lebih damai Kujawab dengan menutup pintu pelan. Lengkingan tangis Sekar benar-benar memecahkan heningnya rumah ibu bapak, akhirnya ibu muncul lagi dan menawarkan “mau dikasih pahit2an aja kah nenennya” spontan aku menjawab tidak mau. Aku bilang pada ibu,“ya memang ini proses yang harus dijalani bu, sabar” akhirnya ibu menyerah, menutup pintu kamar dan meninggalkan kami berdua.



Sekar masih menangis kencang sekali sampai-sampai matanya mulai bengkak, aku mengecek jam digital di handphone, pukul 10 malam. Terjadi perdebatan dalam diriku sendiri. Tentu aku menginginkan proses menyapih yang tanpa tipuan ; tanpa pahit2 atau membuat kesan payudara terluka. Aku ingin proses menyapih yang damai dan penuh cinta. Jika mengikuti teori aku diperbolehkan mendiamkan Sekar yang terus menangis sampai tangisnya berhenti sendiri dan tetap tidak memberikan nenen. Tapi di satu sisi hati kecilku berkata, jika ingin ini terjadi dengan proses yang damai, maka kedamaian itu bukan hanya untuk Sekar dan aku, tapi juga untuk orang di sekeliling kami. Jika aku membiarkan Sekar menangis meraung-raung dan itu membuat orangtuaku jadi khawatir dan tidak bisa tidur semalaman, aku merasa sudah merusak prosesnya.

Karenanya tepat pukul 10 malam aku mengajak Sekar diam, mencoba bernegosiasi, jika mau nenen maka sebelumnya harus minum susu dulu. Sekar mengiyakan, dia cicipi susu buatanku hanya dengan 2 cicipan, lalu cepat2 menagih jatahnya. Malam itu aku sebelum tidur aku mengatakan padanya, bahwa kesediaan dia minum susu adalah kemajuan proses menyapihnya, dan aku bangga padanya. Akhirnya Sekar nenen dan segera tidur dengan cepat setelahnya. Malam kedua masih belum berhasil

Hari Ketiga 1 Juli 2021. Belajar dari dua kegagalan sebelumnya, aku mencoba memperbaikinya di hari ketiga. Setelah magrib Sekar sudah makan sampai kenyang. Sepanjang sore sampai malam aku tidak buru-buru mengajaknya tidur, melainkan malah membuat quality time bersamanya. Aku mengajaknya mewarnai, bermain lompat-lompatan, gendong belakang sambil lari-lari di dalam rumah, mengajaknya bernyanyi, dan kegiatan apapun yang dia sukai sampai dia tertawa-tawa dan kelelahan sendiri. Setelah cukup lelah bermain, aku mengajaknya membaca buku dan karena kelelahan dia pun mau membaca buku dengan tenang. Saat kutawari minum susupun ia mau meminum susunya sampai habis meski memang cukup makan waktu sekitar 30 menit. Susu pertamanya saat siang dan susu keduanya tepat sebelum tidur.

Setelah minum susu dan lelah bermain akhirnya ia ngantuk sendiri. Aku segera mensetting kamar untuk tidur, AC dinyalakan, lampu utama dimatikan dan diganti lampu tidur. Kasur kutebas, alas ompol dan bantal kususun rapi. Aku duduk di sampingnya sambil memeluk bantal dengan tujuan mengalihkan pandangannya dari nenen, lalu kutambahkan juga beberapa boneka di kanan kirinya. Aku bilang ke Sekar kalau boneka-bonekanya akan menemaninya tidur. Yang ada dia malah memain-mainkan bonekanya saja dan mencari-cari topik untuk tetap mengajakku ngobrol. Aku ikuti saja alurnya sampai ia lelah sendiri.

Akhirnya satu per satu boneka disingkirkannya dan ia mulai merengek lagi,bedanya kali ini samasekali tidak minta nenen. Saat itulah cepat-cepat aku menggendongnya, masih dengan memeluk bantal aku memeluknya dalam gendongan dan memosisikan agar kepalanya tiduran di bantal tapi tetap bisa memeluk tubuhku. Kuayunkan dia dan bantal ke kanan kiri sambil bersenandung solawat yang biasa kupakai untuk menemaninya tidur. Sekar pun terlelap di gendonganku tanpa nenen untuk pertama kalinya.. alhamdulillah! Setelah sekitar 10 menit dengan posisi seperti itu, aku membaringkannya di kasur, matanya sempat terbuka lagi tapi dia diam saja. Aku tunggu satu menit tapi matanya masih belum menutup juga, akhirnya dia kugendong lagi dengan cara yang sama. Sekitar dua menit kemudian dia bilang “mau bobo aja” sambil menunjuk kasur, akhirnya kubaringkan lagi tapi menghadap sisi kasur yang kosong dan diapun benar-benar tertidur kali ini. Untuk pertama kalinya tidur tanpa nenen. Alhamdulillah

Masuk ke Hari keempat 2 Juli 2021 aku melakukan hal yang sama. Bedanya kini ia menolak susu mungkin karena susu terasa terlalu manis di tenggorokannya. Tidak masalah karena makannya juga sudah cukup banyak. Di hari kedua ini perasaanku belum sepenuhnya tenang karena mungkin saja keberhasilan yang kemarin belum tentu terjadi lagi hari ini. Aku masih menyiapkan stok energi dan perasaan yang banyak untuk mengantisipasi kalau dia rewel.Syukur alhamdulillah malam keempat berhasil tidur tanpa nenen dengan lancar.

Di hari kelima 3 Juli 2021 aku merasa masih belum bisa 100% yakin kalau Sekar benar-benar sudah siap disapih. Aku masih menyiapkan kemungkinan kalau tiba-tiba saja dia berbalik minta nenen. Di hari kelima percobaan menyapih atau hari ketiga berhasil menyapih ini tubuhku mulai memberi reaksi. 3 hari tidak menyusui membuat bendungan asi pada payudaraku. Alhasil seharian aku merasa sedikit meriang tidak enak badan. Aku mencoba mengatasinya dengan mandi air hangat dan makan makanan yang kusukai kalau sedang tidak enak badan; mi kuah telur cabe 3. Dengan perasaan badan tidak karuan aku menyadari malam ini adalah salah satu malam terberat saat menyapih Sekar. Karena menyapih tanpa partner, jadi aku tetap terjaga hampir setengah malam untuk menungguinya bangun. Sekar sudah punya jam biologisnya, ia biasa tidur pukul 9 dalam keadaan minum air putih, bangun jam 12 untuk pipis dan minum air putih lagi, bangun jam 3 untuk pipis dan minum lagi, lalu bangun lagi jam 5. Aku ingin memberinya dukungan di hari-hari pertama ia disapih dengan memastikan bahwa jadwal biologisnya tidak terganggu hanya karena aku ketiduran. Jadilah dengan badan meriang aku tetap berjaga sepanjang malam untuk bolak balik menemaninya pipis dan minum. Syukur alhamdulillah malam ketiga berhasil disapih dengan lancar. Akhirnya aku bisa mengatakan bahwa anakku sudah selesai disapih dengan cinta, tanpa kebohongan, tanpa kekerasan, dan tanpa paksaan.

 

Tips Menyapih

Dari pengalaman pribadi ini aku bisa menuliskan beberapa poin yang aku jadikan sebagai dasar berpikir saat menyapih. Satu kata yang paling dibutuhkan dalam proses menyapih adalah SABAR.  Jika aku mulai merasa lelah, galau, dan hilang arah, ini adalah patokanku untuk bisa kembali pada kesabaran;

1.       Bulatkan niat dan ikhlaskan anak untuk berlepas dari diriku sendiri. Percaya bahwa ini adlah momen penting untuk anak memasuki kemandirian pertamanya.

2.       Percaya pada anak bahwa ia memiliki perasaan yang peka dan otak yang cerdas untuk memahami setiap apa yang kukatakan padanya dan apa yang sedang ia alami saat ini. Perbedaannya hanya terletak pada kemampuan bahasanya yang belum cukup untuk mengutarakan apa yang dia rasakan.

3.       Ikuti ritme dan prosesnya. Ada orang yang bisa menyapih anaknya sejak malam pertama, ada yang baru berhasil di minggu pertama, ada yang baru berhasil setelah beberapa bulan. Ikuti saja ritmenya tapi konsisten dengan upaya penyesuaian lingkungan agar anak cepat beradaptasi untuk segera disapih. Penting juga untuk menghargai setiap proses sekecil apapun setiap harinya. Kemarin nenen 3x dan hari ini nenen 2x itu sudah kemajuan. Sampaikan apresiasi pada si kecil agar ia tahu bahwa usahanya dihargai.

4.       Penuhi tanki cintanya. Hindari memberi pahit2, obat merah, ataupun sengaja menghilang tiba-tiba. Hal itu hanya akan membuatnya merasa tidak dicintai dan panik. Sebaliknya malah hadirlah selalu bahkan lebih banyak dari biasanya. Mengucapkan rasa sayang secara terbuka cukup penting agar anak merasa diterima. Sentuhan fisik dengan ibu juga dapat meyakinkan anak bahwa bukan berarti dengan disapih ia akan kehilangan sosok paling nyaman dalam hidupnya. Ia hanya akan berhenti nenen, bukan berpisah dengan ibunya. Anak kita perlu diyakinkan untuk yang satu itu.

Selain itu aku pun mencatat beberapa tips untuk hal teknisnya

1.   Sounding sejak jauh hari adalah salah satu persiapan besar yang paling bisa kita lakukan. Jangan meremehkan kekuatan sounding. Ngomonng dengan bahasa yang sederhana dan singkat namun disampaikan berulang kali sampai kita bosan. Kalau afirmasi versiku adalah “Adek sudah besar” “Sudah gak nenen lagi” “Nenen bunda sudah habis”.

2.    Pastikan anak tidur dalam keadaan kenyang, bisa dengan makanan bisa dengan susu.

3.  Pastikan ibu menyapih dalam keadaan siap, misalnya sudah mandi, sudah kenyang, hati 100% full sehingga siap menghadapi dengan tenang kemungkinan-kemungkinan anak tantrum.

4.   Jangan perlihatkan anak pada payudara kita. Selama menyapih aku sengaja memakai baju yang cukup sulit untuk menyusui, bahkan aku menutupi tubuhku dengan bantal sepanjang malam.

Itulah pengalamanku menyapih Sekar tanpa partner dalam waktu 3 hari. Sungguh pengalaman yang mengesankan dan yang terpenting kusyukuri karena insyaAllah tidak meninggalkan trauma buatku dan Sekar. Terima kasih ya ayah bunda sudah mengikuti perjalanan menyapihku. Untuk ayah bunda yang sedang proses menyapih semoga bisa menjalaninya dengan damai dan penuh cinta kasih.

 

Komentar

Postingan Populer