salah- 3
Hujan
semakin membasahi tanah. Masakanku sudah jadi. Sebenarnya memang lumayan cepat
saja memasaknya, lagipula aku sudah sering bereksperimen dengan menu masakan
ini. Makanan kesukaanmu, nasi goreng ikan asin dan udang asam manis. Kusiapkan
juga nasi putih siapa tahu kamu sedang ingin makan udangnya dengan nasi putih
saja. Sengaja kulakukan semuanya dengan pelan sembari terus berharap agar kau
segera datang. Beberapa saat kemudian seseorang mengetuk pintu rumah. Kurapikan
pakaianku, segera kubuka pintu rumahku, bersiap “memarahimu”. Namun ternyata
seseorang yang di balik pintu dalam keadaan hujan deras ini bukan kamu sayang.
“Rian?”
“Maaf
ya, mobilku mogok di depan poskamling, jadi ya kupikir bisa mampir disini dulu”
hujan ternyata lebih deras dari yang kuperkirakan di dalam rumah. Mungkin kalau
badan Rian tidak sekekar itu dia sudah menggigil kedinginan daritadi
“oh,
ya ya gapapa masuk aja” ujarku sambil berpikir cepat. Poskamling itu berarti 2
rumah dari sini.
“Wah,
mau ada acara toh?” Rian bertanya demi melihat meja makanku yang sudah rapi
dengan susunan menu yang menggugah selera.
“Em,
gak kok lagi pengen masak aja” ujarku pelan sambil menyodorkan handuk kering
kepadanya. Sekilas kupandangi keadaan di luar jendela. Tampaknya hujan semakin
tak bersahabat
“oh,
ya Rin, boleh pinjam kamar mandinya?”
Hujan
semakin membasahi tanah. Penjaga kasir toko memberitahuku bahwa kau sudah pergi
daritadi. Tak kusia-siakan waktu, segera kuarahkan kemudiku menuju rumahmu
karena rumahmu cukup jauh dari toko ini dan membutuhkan jalan memutar. Tapi
sepertinya hujan malam ini bukan hanya sekedar hujan biasa. Beberapa pohon
kecil tumbang, bahkan ada satu baliho yang jatuh menimpa parkiran sebuah ruko.
Kondisi jalan menjadi macet total dan panik. Beberapa orang sengaja turun dari
kendaraannya mencoba membantu korban yang tertimpa baliho. Aku melirik jam
digital di mobil dan ia ganti melirikku di angka 20.30. kuhembuskan napas dan
kuputuskan meneruskan perjalanan tanpa turun dari mobil seperti pengemudi yang
lain. Lagipula yang kulihat sepertinya tidak ada korban orang, Cuma mobil yang
ringsek saja. Aku lebih mengkhawatirkanmu sayang, di rumah sendirian dalam
keadaan seperti ini. Apalagi pohon mangga di depan rumahmu itu sepertinya
terlalu miring dan sangat mudah patah jika diterjang angin kencang. Sayang,
tunggulah aku di rumah.
Hujan
semakin menggila. Kulirik jam yang sudah menunjukkan pukul 21.00. kuhembuskan
napas lelah. Mungkin kamu tidak jadi kesini. Rian keluar dari kamar mandi
sambil menutup telepon, ia adalah partner kerja satu kantor yang baru pindah
dari luar kota tapi sudah pernah kesini mengantarku pulang saat kami harus
kerja lembur. Rian termasuk orang yang mudah beradaptasi dan berteman
“Aku
barusan telepon adikku, sebentar lagi mau dijemput. Mungkin mobilnya kubiarin
disitu dulu aja dah, hujan-hujan gini repot ngedereknya”
“iya
gapapa, daerah sini aman kok. Oya kamu mau makan?”
“gapapa
nih? Wah kebetulan juga lagi laper sih. Kayaknya ni juga enak masakannya”
“iya
gapapa, nih piringnya”
Rian
pun memakan masakanku dengan lahap. Biarlah mungkin malam ini aku memang
memasak buat dia bukan buat kamu. Aku tidak marah, sayang. Aku malah berdoa
terus supaya tidak terjadi apa-apa padamu.
“oya
rin, aku tadi sempet liat ada pohon di depan rumahmu yang miring, ngerik juga
tuh kalau anginnya kayak gini bisa roboh tu. Mending besok-besok dipangkas
duluan aja daripada kenapa-kenapa”
“Gitu
ya? Aku juga ngerasanya gitu sih” aku teringat kekhawatiran yang selalu kau
ucapkan setiap kali melihat pohon itu. Kau berjanji akan menyuruh orang
memotongnya tapi tidak terealisasi sampai sekarang karena kesibukanmu. Aku
sendiri tidak begitu peduli hal-hal semacam itu. Rian menyantap hidangan yang
kubuatkan untukmu dengan lahap meski tidak menghabiskan semuanya.
“ini
ngomong-ngomong buat apa masaknya kok banyak banget Rin? Ada keluarga mau ke
sini to? Apa karena tahu aku mau ke sini? Hehe”
Belum
sempat kujawab pertanyaan Rian tiba-tiba terdengar suara ketukan dari pintu
depan. Aku segera bangkit tapi Rian lebih dulu bergerak meraih gagang pintu
“Mungkin
adikku Rin, dia pinter memang kalau disuruh cari rumah orang”
Rian
membuka pintu dan refleks mataku melirik
ke arah jam. selama sepersekian detik tiba-tiba aku merasakan sensasi yang
tidak menyenangkan. Tampak dari pandanganku yang sedikit tertutupi tubuh besar
Rian, kamu berdiri di depan pintu rumahku, basah kuyup, dengan ekspresi wajah
yang tak bisa kugambarkan.
Setelah
lewat setengah jam lebih akhirnya aku bisa keluar dari kemacetan ini. Setelah
poskamling 2 rumah kemudian sampailah aku di depan rumahmu. Hujan turun semakin
deras disertai angin yang begitu kencang. Kulihat lampu rumahmu begitu
benderang menghangatkan. Tak sabar rasanya menemuimu sayang. Kupatutkan wajahku
di kaca spion depan dan baru sadar kalau hujan akan menyia-nyiakan usahaku ini.
Baiklah, biar datang apa adanya saja, basah kuyup, meringis seperti biasanya, menerima
“omelanmu” dan yang terpenting kita akan menghabiskan malam minggu ini berdua.
Kurogoh kantong celanaku dan kudapati sebuah kotak hitam kecil di dalamnya.
Kubuka kotak itu dan kupandangi penuh makna isinya yang sedikit berkilau itu.
Malam ini akan indah sayang, batinku sambil memasukkan kotak ini ke dalam saku
celana kembali. Aku segera berlari setelah menutup pintu mobil, membuka pagar
putihmu, dan sekilas mendengar sesuatu yang patah dari pohon mangga yang miring
itu. Nantilah akan kuurus setelah hujan reda, batinku. Badanku sudah basah
kuyup setelah akhirnya mencapai pintu rumahmu. Kuketuk pintu coklat berpelitur
sederhana itu. Dari luar jendela yang tertutup sepertinya kulihat sekelebat dua
orang di dalam,entahlah aku tidak terlalu memperhatikan karena pikirku kamu
pasti sedang sendirian. Pintu terbuka dan tampak dirimu sebagai orang kedua
yang kulihat di rumahmu. Orang pertama itu adalah yang membukakan pintu
untukku, tidak kukenal, dan seorang pria. Kurasakan kamu menatapku dengan ekspresi
wajah yang tidak bisa kaugambarkan.
Semua
berjalan cepat. Rian refleks terdiam melihat ternyata yang di balik pintu bukan
adiknya. Dia berbalik menatapku yang kini sudah refleks berlari mengejar kamu
yang berlari. Perasaanku menjadi campur aduk sekarang. Bukannya yang seharusnya
marah itu aku? Kenapa jadi kamu yang marah? Bukannya yang salah itu kamu?
Kenapa jadi aku yang salah?
“Mas!”
Kamu, berbalik begitu cepat, membuka pagar putihku buru-buru, tapi ternyata ada yang bekerja lebih cepat daripada marahmu. KRAAKKK. Suara patahan itu terdengar sangat mengerikan, dalam sepersekian detik yang menyayat. Di depan mata kepalaku sendiri kamu jatuh berlumuran darah tertimpa pohon manggaku yang patah. Petir menggelegar bersama hujan yang mengalirkan darahmu kemana-mana. Aku menjerit dan semua terasa gelap
Kamu, berbalik begitu cepat, membuka pagar putihku buru-buru, tapi ternyata ada yang bekerja lebih cepat daripada marahmu. KRAAKKK. Suara patahan itu terdengar sangat mengerikan, dalam sepersekian detik yang menyayat. Di depan mata kepalaku sendiri kamu jatuh berlumuran darah tertimpa pohon manggaku yang patah. Petir menggelegar bersama hujan yang mengalirkan darahmu kemana-mana. Aku menjerit dan semua terasa gelap
Semua
berjalan cepat. Laki-laki itu berbalik menatapmu setelah menatap ekspresiku
wajahku. Dan aku tak perlu lebih banyak detik lagi untuk memutuskan pergi.
Masih kurasakan kotak hitam di saku calanaku terasa mengganjal dan semakin
berat karena basah. Gerakku begitu cepat tetapi hati dan pikiran berlari jauh
lebih cepat lagi. Aku tahu aku salah, aku tahu aku terlambat, aku tahu selama
ini kita jarang bertemu, aku tahu aku sering mengecewakanku, tapi bukankah kau
tidak pernah marah? Bukankah kau... Ahhh mengapa kau lakukan ini? Mengapa ada
laki-laki lain yang tidak kukenal di rumahmu? Di malam minggu kita? Apa kau
sedang membalas dendam? Dan semua terjadi bersamaan ketika aku membuka pagar
rumahmu, kamu berteriak memanggilku, dan terdengarlah suara patahan yang begitu
nyaring dari pohon sialan itu. Detik selanjutnya aku sudah tertimpa patahannya,
petir semakin menggelegar, darahku mengalir kemana-mana, pasti juga tulangku
patah. Kotak kecil ini terasa mengganjal terutama di hatiku. Dan hanyalah
jeritanmu yang kuingat sebelum akhirnya semua terasa gelap.
Komentar
Posting Komentar