Bertemu Seorang Teman
Tadi malam jadwal saya tidur di rumah sakit. Sebenarnya sejak kemarin sore mbah sudah diperbolehkan pulang, tetapi karena hari ini ada jadwal cuci darah, dengan pertimbangan meminimalisir mobilisasi mbah kesana kemari, akhirnya diputuskan mbah menginap satu malam lagi. Seperti biasa mbah masuk kamar paviliun, satu kamar yang isinya dua pasien. Kamar paviliun 2 ini sudah seperti rumah kedua bagi mbah, berkali-kali opname dan sering dapat kamar ini. Berkali-kali pula berganti teman sekamar. Biasanya mbah tidur di ranjang yang dekat dengan kamar mandi, dekat pula dengan dispenser dan sofa. Akhirnya terbiasa memonopoli area yang sebenarnya boleh diakses kedua keluarga pasien. Tapi opname yang kali ini mbah dapat ranjang yang dekat dengan pintu masuk. Jauh dari kamar mandi, sofa, dan dispenser. Tidak masalah. Malahan saya senang karena akhirnya bisa melihat dan mengalami rasanya jadi keluarga pasien yang kesulitan akses fasilitas kamar. Kemarin-kemarin kan keluarga kami yang memonopoli ruangan, sekarang keluarga kami yang mengalah. Kebetulan juga teman sekamar mbah adalah ibu-ibu lanjut usia yang juga punya keluarga besar. Alhasil di jam-jam besuk kamar jadi sangat ramai.
Semalam, sejak selesai solat maghrib saya dan mas memutuskan menyingkir, melipir ngobrol di teras depan kamar. Ada 4 deret kamar di blok paviliun. Saking seringnya berkunjung ke rumah sakit ini saya bahkan pernah mengalami masa-masanya dari satu deret blok paviliun penghuninya hanya mbah saja. Tapi sepertinya akhir-akhir ini banyak orang sakit, hampir semua kamar menyala dan di depan pintu berserak sendal dan sepatu. Salah satu kamar yang paling ramai sepatunya selain kamar mbah adalah kamar sebelah, paviliun 1. Meskipun begitu, dari pintu yang bolak balik dibuka anak-anak kecil saya bisa lihat kalau ranjang yang terpakai hanya 1, berarti ruangan tersebut hanya berisi 1 pasien. Setelah beberapa menit ngobrol sambil memerhatikan orang-orang lewat, saya melihat seorang teman yang memasuki kamar paviliun 1 itu. Saya bilang ke mas, tapi mas ternyata tidak mengenali orang itu. Saya mengenalinya. Beberapa menit kemudian, ketika dia keluar kamar, saya memanggil namanya, dan benar, dia menoleh.
Singkat cerita kami ngobrol di teras kamar. Dari hasil ngobrol singkat saya jadi tahu ternyata dia sedang menunggu ibunya yang sudah 14 tahun sakit stroke. Sebenarnya storkenya bukan masalah, toh dia dan keluarganya sudah terbiasa merawat sang ibu bertahun-tahun. Masalah bermula hanya dari sebuah luka lecet di pinggang sang ibu, yang karena stroke akhirnya samasekali tidak bisa mobilisasi. Dampaknya, lecet tersebut tidak kunjung sembuh dan malah meluas menjadi luka. Luka semakin lama semakin membesar dan berlubang di dalam. Hari ini, sang ibu dijadwalkan operasi penutupan luka. Kami membahas mulai dari alasan masing-masing berada di rumah sakit, sampai hujan deras dan banjir di Balikpapan. Mulai dari jadwal operasi ibunya dan hemodialisis mbah, sampai obrolan tentang kapan dan di mana terakhir kali kita bertemu sebelumnya.
Obrolan itu tidak berlangsung lama, tapi sudah cukup memberi saya banyak informasi tentang teman yang satu ini. Sejujurnya saya terkejut dengan fakta-fakta yang saya dapat, karena selama ini saya hanya mengenalnya sebagai vokalis dari band indie yang isi instagramnya juga lebih banyak seputar kegiatannya bermusik, cover lagu, mengisi undangan ngeband, dan hal-hal anak muda lainnya. Yang saya tahu tentang dia hanya sebatas dia yang di mana-mana memerhatikan penampilan, tipe boy band yang ramah dengan banyak orang, bersuara emas dengan gaya menyanyi yang sungguh menjiwai, dan saya pikir masih banyak rasa ingin bersenang-senangnya. Semua yang saya kenal tentang dia hanyalah permukaan, sampai semalam saya jadi tahu dia adalah anak bungsu yang merawat ibu dengan stroke 14 tahun lamanya, dia adalah saudara laki-laki yang harus berbagi tugas dengan saudara perempuannya karena ketika ibunya berada di rumah sakit, rumah mereka kebanjiran akibat hujan semalam suntuk. Semua yang saya kenal tentang dia hanyalah permukaan, dan semalam saya diperkenalkan lapisan lain tentang dia. Kita benar-benar tidak bisa menilai seseorang semata hanya dari sosial media, atau dari satu sisi hidupnya.
Komentar
Posting Komentar